Perkataan etika berasal dari bahasa Yunani "ethos" yang berarti adat kebiasaan. Kata ini identik dengan moral yang berasal dari bahasa latin "mores" (juga sama dengan tata susila, budi pekerti, kesopanan, adab perangai dan tingkah laku).
Secara istilah, etika adalah usaha manusia agar kehidupan mereka berada dalam aturan yang baik, beredar sesuai dengan naluri kemanusiaan. Usaha itu diwujudkan dengan membentuk suatu tata aturan kehidupan yang baik lalu dibiasakan dalam kehidupan sehari-hari.
Persepsi berbagai agama tentang etika bermacam-macam. Budha Gautama yang melihat ketimpangan dalam etika Hindu (kasta), mencoba mengeluarkan etika baru yang meliputi delapan perkara: melakukan kebaikan, bersifat kasih sayang, suka menolong, mencintai orang lain, suka memaafkan orang, ringan tangan dalam kebaikan, mencabut diri sendiri dari sekalian kepentingan, berkorban untuk orang lain. Demikian juga halnya dengan LaoTse dan Kong Fu Tse. Dua tokoh Tiongkok itu juga berusaha memperbaiki tingkah dan etika manusia pada zamannya dengan berbagai ajaran kebaikan, demi keselamatan tatanan kehidupan manusia. Banyak lagi tokoh seperti Socrates, Antintenus, Plato, Aristoteles, dan lainnya bermunculan mengemukakan konsep dan teorinya, bagaimana agar manusia bertingkah laku baik, menjauhkan kerusakan dan kebinasaan pribadi maupun orang lain.
Aturan yang mereka buat hanya didasarkan kepada pendapat orang-orang sesuai dengan fikiran dan perasaannya. Tentu saja pendapat yang satu berbeda dengan yang lain. Bahkan, bisa saja pendapat kemarin dibantah dengan munculnya pendapat baru. "Kebenaran" seorang tokoh akan ditolak dengan ditemukannya "kebenaran" orang sesudahnya.
Sekitar abad ketiga sebelum masehi, muncul aliran dalam hal etika yang dikenal dengan aliran Natularisme. Aliran yang diprakarsai Zeno (340-264 SM) itu berpendapat bahwa ukuran baik dan buruknya perbuatan manusia adalah manakala manusia itu secara natural mengikuti akalnya dalam mencapai tujuan-tujuan hidupnya. Jadi menurut pendapat ini hidup manusia harus mengikuti petunjuk akal, dengan mengikuti petunjuk akal berarti telah memiliki etika tinggi.
Pada waktu yang hampir bersamaan, Epikuros (341-270 SM) berpendapat bahwa ukuran baik buruk terletak pada kelezatan sesuatu, dan itu merupakan tujuan hidup manusia. Bila perbuatan manusia menimbulkan suatu kenikmatan dialah orang yang mempunyai moral dan etika yang tinggi. Pendapat ini dinamakan Hedonisme.
Pada awal-awal abad kedelapan belas, J.S. Mill menperkenalkan teori etika yang baru. Agaknya ada sedikit kemajuan. Teori ini dikenal dengan Utilitarisme. Mill mengemukakan bahwa ukuran baik dan buruknya sesuatu didasarkan atas besar kecilnya manfaat yang ditimbulkannya bagi manusia. Dengan pendapat ini ia menghendaki agar manusia menemukan kebahagiaan di tengah orang banyak dengan memanfaatkan diri dan pengorbanannya.
Ada lagi aliran idealisme. Aliran ini tidak bicara definisi, tapi apa yang ada dibalik etika tersebut. Tokohnya, Immanuel Kant (17251804), Ia berpendapat bahwa seseorang berbuat baik pada prinsipnya bukan karena dianjurkan oleh orang lain, melainkan atas dasar kemauan sendiri (atau rasa kewajiban). Perbuatan baik akan dilakukan juga walaupun diancam atau dicela orang lain karena terpanggil oleh kewajiban.
Sedangkan aliran etika Vitalisme mengukur baik buruknya perbuatan manusia dengan ada tidaknya daya hidup maksimum yang mengendalikan perbuatan itu. Maka, yang dianggap baik ialah orang yang kuat dan dapat memaksakan kehendaknya serta mampu menjadikan dirinya selalu ditaati. Pencetus aliran ini ialah Freedrich Witzche (1844-1900). Filsafat dalam aliran ini adalah atheistic. Karenanya, Witzche juga berjuang menentang gereja di Eropa.
Itulah beberapa kisah tengan usaha manusia mencari rumusan etika. Semua konsepnya semu, semua ajarannya tak ada yang menghunjam dalam hati nurani. Lebih jauh, tak sedikit dari konsep etika di atas yang salah. Akibatnya, bukannya terjadi kehidupan manusiaa yang beretika. Justru sebaliknya terjadi berbagai kehancuran di muka bumi.
Etika yang benar, adalah etika yang bersandar kepada kebenaran wahyu. Dalam terminologi etika, etika ini dikenal dengan aliran Theologis. Aliran ini berpendapat bahwa baik-buruk perbuatan manusia didasarkan atas ajaran Tuhan yang dibawa para nabi kepada umatnya. Etika Theologis inilah yang dalam Islam disebut dengan akhlaq. Ia bersumber dari sang Khaliq.
Dalam Islam perhatian terhadap akhlak sangatlah besar. Selain akan mendampingi ketaqwaan dalam memperbanyak amal di akhirat (hadits Tirimidzi) akhlak juga menjadi perisai bagi eksistensi suatu bangsa. Selain itu, kebutuhan seorang muslim akan akhlaq juga untuk penopang iman. Sebagaimana diungkapkan Rasulullah, "Sesempurna-sempurna iman seorang mukmin ialah yang lebih baik akhlaknya." Dalam Islam, batasan antara akhlak yang baik dan akhlak yang buruk sangat jelas. Bahkan dengan penggambaran-penggambaran yang "vulgar". Lihatlah bagaimana Al-Qur’an mengumpamakan orang-orang yang tak berakhlak seperti binatang, bahkan lebih sesat dari binatang.
Sebaliknya, Islam memberi ruang lingkup akhlak yang baik dengan sangat lugas. Tidak saja terpaku pada amal-amal yang besar. Namun juga meliputi amal-amal yang kelihatannya sepele. Seperti menyingkirkan duri dari jalanan, menyapa dengan mengucapkan salam ketika bertemu sesama muslim, tersenyum untuk saudara sesama muslim, mendo’akan saudara, dan amal-amal lain yang sangat luas dalam Islam.
Akhlaq Islam juga mengajarkan bagaimana seorang rakyat harus bersikap, bagaimana seorang pemimpin harus memimpin, bagaimana seorang ulama harus memberi fatwa. Semua ada aturannya, entah orang itu pedagang, pekerja, pengarang, dan pengusaha, harus ber akhlaq sesuai dengan profesinya.
Buya Hamka berucap,
Diribut runduk padi
dicupak datuk tumenggung
hidup kalau tidak berbudi
duduk tegak kemari canggung.
Tegak rumah karena sendi
runturt budi rumah binasa
sendi bangsa adalah budi
runtuh budi runtuhlah bangsa.
Banyak orang yang ingin hidup tenteram dan damai. Tapi banyak pula dari mereka yang berkiblat kepada tokoh-tokoh pencetus konsep etika dan moral yang salah. Padahal teori-teori itu banyak yang salah.. Sumber kebenaran hanya satu. Dari Allah SWT. Sesungguhnya kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu, maka janganlah engkau menjadi orang yang ragu.
Wallahu a’lam bishawab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar