“Istafti qolbak (mintalah fatwa pada hatimu). Kebaikan itu adalah sesuatu yang membuat jiwa dan hatimu tenang. Sedangkan dosa itu adalah sesuatu yang memunculkan keraguan dan kegelisahan dalam dada….” Itu jawaban Rasulullah saw saat ditanya tentang definisi al-birr atau kebaikan oleh seorang sahabat bernama Wabishah bin Ma’bad ra. Rasul mengatakannya sambil meletakkan kelima jarinya di dada Wabishah. Dan Wabishah sangat terkesan dengan nasihat Nabi tersebut.
Secara singkat, Rasul memberi definisi tegas untuk membedakan baik dan buruk. Timbangannya ada pada suara hati, ada pada nurani. Hati memiliki kedudukan sangat strategis sehingga setiap muslim dianjurkan untuk mendengarkan, dan mengikuti suara hatinya dalam menentukan sikap. Hadits itu bahkan ditutup dengan perkataan Rasul, bahwa seseorang harus tetap lebih mengutamakan suara hatinya betapapun banyak orang yang memiliki pandangan berbeda. Parameternya kembali pada sabda Rasul bahwa kesalahan dan dosa itu adalah yang membuat hati gelisah. Sementara kebaikan itu adalah yang membuat hati tenteram dan tenang.
Itu sebabnya setiap orang harus bisa melatih diri peka mendengar suara hati nurani. Ada beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk tujuan ini.
Pertama, manfaatkan momen-momen sunyi untuk mendengarkan suara hati. Duduk dan tafakkurlah di waktu malam. Istirahatkan, lidah, telinga, mata sejenak, setelah kita menggunakannya selama puluhan jam dalam sehari. Dengarkanlah suara hati. Dengarkan pelan-pelan dan hati-hati. Jika tidak ada sesuatu pun yang terdengar, itulah saat terbaik bagi kita untuk menyadari bahwa hati kita telah ditutupi oleh debu yang tebal; debu keserakahan, kedengkian dan kesombongan. Sehingga ia tidak lagi mampu memantulkan gelombang cahaya kebenaran. Seorang ulama dan juru dakwah terkenal asal Mesir, Hasan AI-Banna, pernah mengatakan, “Detik demi detik di malam hari itu sangat mahal. Jangan kau sepelekan ia dengan amal-amal yang melalaikan…"
Imam Zainal Abidin Ali bin Husain bin Ali ra mengatakan, “Jlka seorang kerap merenungi kebesaran Allah pada saat orang lain tidak ada, maka Allah akan memberitahukan berbagai kesalahan yang dilakukannya sehingga ia lebih sibuk dengan dosa-dosanya ketimbang sibuk dengan kesalahan orang lain."
Kedua, luangkan waktu untuk terlepas dari kegiatan rutin. Seringkali manusia terlalu sibuk hingga menjadikannya seperti tak pernah terlepas dari belenggu kehidupan duniawi. Padahal bagaimanapun jiwa sebagaimana fisik, perlu istirahat dan ketenangan. Allah swt sebenarnya telah menyediakan waktu-waktu istirahat jiwa yang sangat efektif dan ideal bagi kita. Kesempatan itu ada pada saat setiap seseorang melakukan shalat lima waktu. Hilangkan segala persoalan dan problematika yang melilit hidup, dalam sholat. Tenangkan pikiran, tundukkan hati dan pandangan, satukan perhatian, penuh hanya untuk beribadah dan berdialog kepada Allah swt.
Dialah yang menciptakan kehidupan dan segala dinamika hidup. Melalui shalat lah, seseorang memiliki terminal peristirahatan yang nyaman. Untuk berdialog dengan Allah dan dengan diri sendiri, dan mendengarkan suara hatinya. Mushthofa Shadiq Ar-Rafi’i menyebutkan, “Adalah kesalahan besar bila engkau mengatur kehidupan lahir yang ada di sekelilingmu, sementara engkau biarkan hatimu berantakan." (Wahyul Qalam, 2/44)
Ketiga, biasakan berpikir sebelum bertindak. Jangan terbiasa melakukan perilaku dengan harus mengorbankan suara hati nurani. Suara hati harus sering-sering diperhatikan dan didengarkan. Ingat sabda Rasulullah, "Dosa itu adalah sesuatu yang menggelisahkan hati dan engkau tidak suka bila prilaku itu diketahui orang lain." (HR Muslim).
Hanya ada dua indikator dosa menurut Rasulullah. Hati gelisah dan kekhawatiran adanya orang lain yang melihat perbuatan itu. Dan itulah suara hati yang tak boleh diterjang. Terlalu sering melawan suara hati, akan menjadikan orang semakin sulit menangkap getaran hatinya. Karena suara hatinya semakin lemah untuk menyuarakan kebenaran. Seorang ulama hadits bernama Muhammad bin Kunasah dalam bait-bait syairnya mengatakan, "Semakin terbiasa jiwa mengikuti hawa nafsu, semakin berat memutusnya dari ketergantungan hawa nafsu.."
Keempat, lakukanlah perenungan dan penyelaman makna ayat-ayat Al-Qur’an. Membaca Al-Qur’an dan menyelami maknanya, akan semakin mempertajam suara hati, untuk tetap berada pada rel fitrah yang telah Allah ciptakan. Al-Qur’an mengingatkan manusia untuk banyak membaca dan merenungi hakikat tentang kehidupan dan kematian, menumbuhkan rasa takut, pengharapan dan ketundukan kepada Allah. Al-Qur‘an juga akan membiasakan jiwa untuk selalu mengukur segala sesuatu dengan apa yang diridhai Allah.
Berkata Sayyid Quthb dalam tafsir Fi Zilalil Qur’an, “Orang yang merasakan takut pada Allah tidak akan berani melakukan maksiat kepada-Nya. Jika sesekali ia berbuat maksiat karena dorongan sifat kemanusiaannya yang lemah, perasaan takut akan kebesaran Allah inilah yang akan menegur, memperingatkan dan mengajaknya pada penyesalan atas maksiat tersebut. Beristighfar meminta ampun dan taubat kepada Allah. Dengan begitulah ia akan terikat dengan ketaatan pada Allah, dan mampu mengekang jiwa dari selalu mengikuti kehendak hawa nafsunya.”
Kelima, hindari terlalu banyak bicara yang bisa menyebabkan pengotoran hati. Sikap menyedikitkan bicara dan memperbanyak amal, menandakan seseorang lebih banyak berpikir dan berdialog serta mendengarkan suara hatinya. Menurut ulama shalih di zaman Tabi’in, Fudhail bin Iyadh, terlalu banyak bicara merupakan salah satu sifat yang akan mengotorkan hati. Sikap itu juga pada giliran-nya akan menjadi salah satu indikasi kemunafikan, bila yang dibicarakan menjadi lebih banyak dari amal yang dilakukan. “Orang mu’min sedikit bicara dan banyak bekerja, sedangkan munafik banyak bicara dan sedikit bekerja.”
Sebenarnya, banyak cara yang bisa dilakukan untuk menjadikan hati tetap bersih, hingga ia bisa memberi fatwa yang jernih. Banyak cara yang bisa dilakukan agar “air" terus mengalir dan membasuh hati, sehingga ia tetap bersih dari “debu” dan kita mampu menangkap suaranya. Semua sarana itu tersimpul pada aktifitas memperbanyak amal-amal ibadah. Shalat, dzikir, tilawah Al-Qur’an, shaum, zakat dan sebagainya seperti yang kita lakukan pada setiap program usbu’ ruhiyyah, semua itu akan menjadi pembersih bagi hati. Lihatlah Al-Qur’an surat Ali Imran ayat134 yang menjelaskan bahwa orang-orang yang menafkahkan hartanya di waktu lapang atau sempit, mampu menahan amarah dan memaafkan kesalahan orang lain adalah orang-orang yang disukai Allah.
Itulah salah satu cara menangkap suara hati di saat-saat yang paling sulit, bahkan. Seperti ketika marah. Mampukah kita melakukannya? Semoga Allah memberikan hidayah taufiq kepada kita semua. Amiin ya robbal’alamin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar