Selasa, 29 Juni 2010

Cermin nasehat

Perilaku ‘bercermin dan menjadi cermin’ memiliki pengaruh yang besar dalam pembentukan kepribadian seorang mukmin. Saat ‘bercermin’ ia menerima pelajaran berharga dari saudaranya, dan kala ‘menjadi cermin’ sesungguhnya ia telah berbuat baik pada sudaranya. Jika perilaku ini dibudayakan dalam kehidupan sehari-hari, niscaya akan memberikan kontribusi besar bagi pembentukan karakter umat pilihan.

Namun sayang, adakalanya kita tak suka bercermin. Kita menjadi orang yang tidak peduli dengan penampilan diri. Kalau kebetulan menemukan cermin yang memantulkan bayangan dirinya sendiri, kita tak ambil pusing dan tak mau bereaksi. Kalau pun ada, cenderung naïf dan apologis. “Ah cerminnya yang jelek dan kotor, ngga bisa memperlihatkan diri kita yang sebenarnya”.


Bercermin enggan, menjadi cermin buat orang lain pun tak mau. Kita kadang tak suka memantulkan diri orang lain karena berbagai pertimbangan yang picik. Adakalanya kita takut dicela atau takut mendapat reaksi yang tidak baik bila menampilkan gambar yang tidak sesuai dengan selera orang tersebut. Tak jarang rasa takut yang tidak beralasan ini membuat kita menjadi cermin ’nenek sihir’ yang hanya menampilkan kebohongan, menyanjung sesuatu yang kosong.

Seharusnya, sebagai cermin, kita harus berlaku jujur dan apa adanya. Kita tidak perlu merasa takut, sungkan, malu, atau enggan menyampaikan sesuatu yang bernilai nasehat bagi saudara kita. Pada saat yang lain, kita pun mengharapkan perlakuan serupa dari sudara kita.

Inti dari filosofi cermin adalah kesediaan seorang mukmin untuk memberi dan menerima nasehat. Salah satu sifat keshalehan mukmin adalah kesadaran dan kepekaan memberikan nasehat kepada saudaranya, dan disaat lain, ia pun bersedia menerima nasehat.

Nasehat adalah alat utama dari umpan balik yang sejati dan jujur dalam masyarakat Islam. Bukankah Rasulullah Saw menyatakan agama sebagai praktek memberi nasehat kepada umat Islam dan menjadikannya esensi syariah lewat sabdanya: ”Addiinu nashihah (agama itu adalah nasehat)”. Nabi Saw pun pernah berwasiat kepada Jabir bin Abdullah untuk berkomitmen dengan tiga perkara yaitu, mendirikan sholat, membayar zakat dan memberikan nasehat kepada umat Islam, termasuk para pemimpinnya tanpa pandang bulu.

Para sahabat dimasa Rasul amat memahami pentingnya nasehat dalam kehidupan. Mereka menjadikan nasehat sebagai budaya. Seorang sahabat mulia, Umar bin Khatab, pernah melontarkan sebuah pernyataan yang sangat menyentuh tentang arti sebuah nasehat. Ia berkata, ”Semoga Allah Swt merahmati seseorang yang menghadiahkan kepadaku aib-aib (kekurangan-kekurangan-ku).

Dan sesungguhnya pun, memberi nasehat adalah misi mulia yang dilakukan oleh para utusan Allah Swt. Sebagaimana tertulis dalam Al-Qur’an, ”Aku (Nabi Hud) menyampaikan amanat-amanat Rabbku kepadamu dan aku hanyalah pemberi nasehat yang terpercaya bagimu.” (QS. Al-A’raf: 68)

”Sesungguhnya aku (Nabi Syu’aib) telah menyampaikan kepadamu amanat-amanat Rabbku dan aku telah memberi nasehat kepadamu. Maka bagaimana aku akan bersedih hati terhadap orang-orang yang kafir?” (QS. Al-A’raf: 93)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar