Selasa, 29 Juni 2010

Nasehat: ukuran cinta

Apakah anda mencintai saudara anda? Jika ya, maka ukurannya adalah seberapa banyak nasehat ikhlas dan jujur telah anda berikan kepadanya. Sebab menyayangi orang lain berarti menerima tanggung jawab untuk menunjukkan kesalahan mereka. Jika tidak, kecintaan kita hanya di mulut saja, bukan perasaan yang hangat dan sepenuh hati. Benarkah kita mencintai saudara kita jika kita membiarkannya tampil di keramaian dengan wajah yang coreng moreng atau melangkah menuju batu yang akan menggelincirkannya sementara ia tidak menyadarinya. Dalam sebuah hadits dikatakan, ”Tidak beriman seseorang sampai ia menyayangi saudaranya sebagaimana ia menyayangi dirinya sendiri.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Demikian pula, kita harus melatih mental dan perasaaan, bahwa menerima nasehat adalah menerima uluran cinta kasih dari saudara kita. Semakin banyak –secara proporsional- kita mendapatkan nasehat, apalagi dari orang-orang terdekat, maka itu artinya mereka semakin menyayangi kita.

Tidak sulit menerima logika di atas jika kita memahami bahwa sesungguhnya nasehat itu adalah umpan balik atas sikap, perilaku atau tindakan yang telah kita lakukan. Sebagai manusia yang memiliki kemampuan terbatas, kita sulit meneliti dan memeriksa diri kita saat melakukan perbuatan. Seringkali kita tidak tahu dan tidak sadar bahwa telah terjadi kesalahan atau kelalaian didalamnya yang bisa saja menimbulkan hal-hal yang tidak menyenangkan bagi orang lain. Selain itu, sesungguhnya dalam diri kita ada dinamika kepribadian dan fluktuasi keimanan seiring dengan kompleksitas ujian hidup yang mungkin saja membuat kita jatuh pada kesalahan.

Benarlah perkataan Umar yang melihat teguran kesalahan sebagai hadiah berharga. Sikap ini perlu dikembangkan, terutama demi meningkatkan ketahanan dan soliditas keluarga muslim, agar dapat mengeliminir tarikan ego yang cenderung ingin menang sendiri. Sifat ini adalah kebalikan sifat mementingkan diri sendiri, seperti yang dianut masyarakat materialistis. Mereka hanya mementingkan diri sendiri. Tujuan hidup mereka adalah kebebasan pribadi untuk kepuasan nafsu. Mereka tidak perlu memberitahu orang lain akan kesalahan dan kelalaiannya.

Karena itu, nasehat sebagai wujud kontrol sosial dan pengendalian kualitas keshalehan individu maupun kelompok merupakan kegiatan yang harus dilakukan secara sistematis. Tujuannya adalah untuk memeriksa dan meluruskan penyimpangan yang terjadi. Allah Maha Tahu kelemahan manusia. Kala manusia tak sanggup mengontrol dirinya, Ia mencukupkannya dengan menjadikan sesama muslim sebagai cermin bagi yang lain. Melalui perbuatan mereka, kita dapat melihat perbuatan kita sendiri.

Kini, jauh setelah anjuran Rasulullah tersebut, manusia modern mengenal apa yang disebut dengan Kaizen (sebuah pelatihan manajemen pengembangan diri yang dikembangkan oleh Masaki Imai, 1993). Kai yang artinya change (perubahan) sedangkan zen artinya good (baik). Jadi kaizen berarti perubahan terus menerus menuju penyempurnaan. Wallahu’alam bi shawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar