Selasa, 29 Juni 2010

Jangan pernah putus asa

Sejarah kesalahan manusia sangat panjang. Sepanjang rentang antara kelahiran dan kematian manusia itu sendiri, bahkan lebih panjang lagi. Kesalahan telah ada sejak kali pertama Nabi Adam belum berturun putra. Ketika ia tergoda oleh rayuan syetan untuk memakan buah, yang oleh syetan dijanjikan akan membuatnya abadi.

Ini bukan gugatan untuk bapak kita, Nabi mulia dan manusia pertama yang diciptakan langung oleh Allah Swt dengan tangan-Nya. Siapapun tidak punya kapasitas –bahkan argumentasi—untuk mempersalahkan Nabi Adam, bapak semua manusia. Apalagi Allah Swt sendiri telah mengampuni kesalahan itu.


Banyak hal yang terjadi di dunia ini dan mesti kita maknai sebagai wujud otoritas Allah Swt Yang Maha Berkuasa dan Maha Berkehendak, dalam lingkup keadilan-Nya yang sempurna. Karenanya yang mungkin dilakukan adalah mendudukan keberadaan dosa dan kesalahan dalam timbangan syari’at dan dalam alur logika kemanusiaan yang semestinya. Untuk kemudian, setiap muslim, apapun statusnya, kaya atau miskin, pintar atau tidak, berpangkat atau rakyat biasa, menyadari sepenuhnya bahwa ia tidak bisa lari dari kodrat kemanusiaan itu.

Dari kesadaran itu diharapkan lahir pemahaman yang utuh, sikap yang tepat, serta tindakan yang benar. Bahwa tidak mungkin manusia melambung menjadi makhluk suci tanpa cela. Tetapi membiarkan diri terjerembab dalam perilaku buruk dan nista juga tidak dibenarkan. Hidup memang pertarungan. Selalu ada saat kalah dan juga saat menang. Bagai roda siang dan malam, berputar beriringan. Tetapi manusia harus berjuang untuk kemenangan hidup, meski kadang harus tegar atas kesalahan.

Rasulullah Saw, sang manusia pilihan juga pernah salah. Ketika beliau mengabaikan Abdullah bin Ummi Maktum dan lebih memperhatikan pembesar-pembesar Quraisy. Allah Swt langsung menegurnya. Hal ini diabadikan dalam sebuah surat yang berada di Juz Amma yaitu surat ’Abasa yang artinya adalah ’Yang bermuka masam’. Teguran itu, disisi lain menjelaskan bahwa Rasulullah tidak akan salah dalam menunaikan tugas kenabiannya. Karena seketika akan langsung diluruskan oleh Allah Swt.

Namun, dalam kapasitas manusia, ia pernah salah. Karenanya, seringkali beliau menggabungkan dua label pada dirinya, ” Aku ini hamba dan Rasul-Nya.” Lafaz ’hamba’ menegaskan bahwa ia juga seperti manusia yang lain. Tetapi ia berbeda karena ia menjadi Rasul.

Kita tidak sedang membandingkan diri kita dengan Rasulullah. Tidak saja perbandingan itu salah alamat, tetapi karena memang antara kita dan Rasulullah tidak mungkin diperbandingkan. Semuanya hanya penegasan ulang bahwa manusia tidak mungkin lari dari kesalahan. Manusia juga diciptakan dengan potensi baik dan buruk. ”Maka Allah Swt mengilhamkan kepada jiwa itu kefasikan dan ketakwaan.” (QS. Asy-Syams: 8 ). Rasulullah Saw juga menegaskan bahwa manusia itu memang banyak salahnya. Tetapi sebaik-baik orang yang banyak salahnya adalah orang yang banyak taubatnya. (Hadits dari Anas, riwayat Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad).

Maka masalahnya bukan bagaimana mematikan dosa. Itu sangat mustahil. Boleh jadi hari ini seorang muslim mengakhiri kesalahannya. Tapi sangat mungkin pula, esok atau lusa ia tergelincir dalam kesalahan lagi. Namun itu bukan alasan untuk mencari-cari ’pembenaran’ atas kesalahan dan dosa. Seperti yang dilakukan kebanyakan orang, yang merasa tidak punya kekuatan ikhtiar. Ia merasa segalanya ’dipaksakan’ Allah swt kepada dirinya, termasuk perilaku buruknya. Ini tentu sangat fatal. Tidak benar secara aqidah maupun etika terhadap Allah Swt. Bagaimanapun, kesalahan akan diganjar dengan siksa atau pemaafan. Sebagaimana kebaikan selalu dijanjikan pahala.

Karenanya, masalah utamanya adalah bagaimana ada proses perbaikan diri yang berkesinambungan (continues improvement). Karena perbaikan tak kenal kata berhenti. Dan itulah sebenarnya inti dari taubat, yang diilustrasikan Allah ketika menggambarkan orang-orang yang bertakwa, ”(Yaitu) orang-orang yang berdo’a, ’Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah beriman, maka ampunilah segala dosa kami dan peliharalah kami dari siksa api neraka. (Yaitu) orang-orang yang sabar, yang tetap taat, yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah), dan yang memohon ampun diwaktu sahur.” (QS. Ali Imran: 16-17).

Semangat perbaikan diri seharusnya selalu menyala dalam jiwa setiap muslim. Karena Allah swt tidak pernah menutup pintu taubat, sebelum nyawa seseorang sampai di kerongkongan. Ampunan Allah Swt jauh lebih luas dari dosa-dosa hamba-Nya. ”Katakanlah: ’ wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun dan Maha Penyayang.” (QS. Az Zumar:53)

Semua itu harus membuat setiap muslim optimis dan percaya sepenuh hati, bahwa selalu ada peluang dan kesempatan untuk memperbaiki diri. Waktu belum lagi habis. Kehidupan belumlah usai. Secepatnya harus dimanfaatkan, selagi matahari belum terbit dari barat ke timur untuk tenggelam.

Bahkan Rasulullah menyatakan, sebagaimana diriwayatkan Imam Muslim, "Seandainya manusia itu tidak berbuat dosa, niscaya Allah akan menghilangkan mereka, lalu mendatangkan kaum yang lain. Lalu kaum yang baru itu berbuat dosa, lantas memohon ampun, dan Allahpun mengampuni dosa-dosa mereka.” (HR. Muslim).

Fakta-fakta di atas tidak memerlukan penjelasan yang rumit. Segalanya begitu gamblang. Kasih sayang Allah begitu luas. Rahmat dan ampunan-Nya begitu besar. Tapi semua itu bisa menjadi bumerang bagi orang-orang yang merasa tidak bertanggung jawab. Kelapangan dan keluasan ampunan Allah tidak untuk dipermainkan. Ia hanya bisa menjadi spirit bagi orang-orang yang jujur dan mau meniti jalan kebaikan.

Dibutuhkan sikap bijak dalam menyikapi kebaikan dan keburukan. Diperlukan kefahaman dalam menimbang pahala dan dosa. Harus ada rasa penerimaan yang dalam atas segala ketetapan Allah. Tapi bukan kepasrahan dalam kekalahan. Orang-orang yang menang bukan mereka yang lari dari kenyataan hidup. Tetapi yang arif mensiasati hidup. Ya, karena hidup memang adil.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar