Selasa, 29 Juni 2010

Kerang

SUATU ketika, seekor anak kerang datang kepada ibunya dengan menangis. Agaknya ia menahan sakit. Sang Ibu tampak bingung. "Mengapa menangis? Ada apa dengan tubuhmu?" Sang ibu tampak ingin memeluk sang anak.

Si kerang kecil kembali menangis. Terdengar suara tertahan, "Ibu, tubuhku dimasuki sebutir pasir. Rasanya sakit sekali." Kerang kecil itu meneruskan, "Aku tak mampu menahannya, pasir itu masuk ke cangkangku. Tolonglah Bu, tolong buka cangkangku. Aku tak mampu membukanya. Rasanya sakit sekali…." Sayang sekali, tampaknya sang Ibu tak dapat memenuhi permintaan sang anak.


Berhari-hari lamanya si kerang kecil menahan sakit. Setiap hari sang kerang menangis. Setiap hari pula ia berdoa agar dapat terlepas dari derita semacam ini. Ia berharap agar pasir itu dapat tercabut, dan terangkat dari dalam tubuhnya. Bertahun-tahun lamanya si kecil menangis, tapi cangkang itu tak juga terbuka. Pasir yang ada di dalamnya pun semakin mengeras, membesar menjadi sebuah batu yang mengkristal.

Tiba-tiba, ada seorang penyelam datang. Ia lalu menjumput kerang itu dari karang, dan membawanya ke permukaan. "Hei lihat, aku temukan kerang mutiara di sini!" teriaknya melengking, memberitahu temannya di atas perahu.

Kedua orang itu segera merapat. Salah seorang di antaranya mengambil pisau, dan mencungkil salah satu cangkang. Tampak cahaya yang berkilau dari dalam. Sebutir mutiara, tampak menempel di sana. Begitu indah, membuat kedua penyelam itu tersenyum. "Terima kasih Tuhan atas berkah ini." Penantian sang kerang kecil berakhir. Pasir yang mulanya tampak menyakitkan itu, kini berubah menjadi mutiara yang indah.

—-

Penantian hidup, dalam kesengsaraan, rasa risau, serba tak cukup mungkin bukan pilihan setiap orang. Banyak orang yang kemudian berputus asa. Tak sedikit pula di antara mereka yang memilih untuk mengutuk Sang Pencipta: "Tuhan tidak adil!"

Penantian bagi sang kerang, untuk mengubah pasir menjadi mutiara bisa jadi hal yang sangat menyiksa. Sang kerang tak tahu, kapan cobaan itu akan berakhir. Dari sana, kita belajar satu hal: untuk mencapai suatu keagungan, perlu waktu dan perlu kesabaran. Untuk menjadi hiasan bagi raja-raja dan bangsawan, sang kerang mutiara butuh malam-malam penuh doa dan tangisan.

Teman, tidakkah kisah ini mengabarkan sesuatu buat kita? Manakah kelak yang menjadi pilihan hidup kita? Menjadi kerang dengan mutiara yang berharga mahal? Atau menjadi tiram yang dijual murah di pasar-pasar? Saya percaya, setiap pilihan akan punya risiko. Tak ada yang tahu memang, sampai kapan cobaan "pasir" yang kita jalani akan menjadi "mutiara" kelak. Tak ada yang tahu, teman. Hanya mereka yang sabar dan gigihlah yang kelak akan tahu jawabannya. Wallahu’alam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar