Selasa, 29 Juni 2010

Overload informasi

Ada kalanya, kita merasa perlu untuk menghindari pertemuan dengan ikhwah. Terkadang, datang masa di mana kita tidak menikmati informasi yang kita terima, padahal biasanya informasi itulah yang kita tunggu-tunggu. Sesaat mungkin, kita pernah merasakan hal semacam itu. Penyebabnya mungkin overload informasi.

Bagi manusia, komunikasi adalah sebuah keniscayaan dalam kehidupannya. Keyakinan bahwa hidup ini tidak mungkin dijalani seorang diri, ‘memaksanya’ untuk berkomunikasi dengan sesamanya.


Terlebih bagi para aktivis dakwah. Pemahaman kita tentang Islam yang syamil, kamil, dan mutakamil menciptakan kesadaran bahwa kita adalah potensi yang spesifik dan terbatas (juzi’yah ma’dudah). Kesadaran itu mengantarkan kita kepada kerja sama dan komunikasi. Bagi kita, kerja sama dan komunikasi melembaga dalam bentuk berbagai organisasi dakwah.

Medan dakwah di era ini sudah sedemikian luas. Kita tidak saja bekerja pada lapangan taklim dan tabligh; pekerjaan-pekerjaan sosial kemasyarakatan dan upaya-upaya ishlah (perbaikan) bagi kehidupan bernegara menjadi ladang tambahan. Sebagai konsekuensi luasnya bidang dakwah saat ini, berkembang pula wajihah dakwah sebagai lembaga amal jama’i. Oleh karenanya, kita kemudian menjadi personel dari berbagai lembaga dakwah, baik berupa LSM, organisasi massa, partai politik, atau organisasi yang lain. Di satu sisi, kondisi ini berarti bahwa kita memiliki kesempatan untuk menyerap informasi yang relatif lebih besar daripada kondisi pada mihwar sebelumnya. Namun, di sisi lainnya, dalam kondisi ini, kita harus lebih waspada terhadap overload informasi.



Kelebihan (Overload) Informasi

Para pakar mendefinisikan komunikasi sebagai proses pengiriman pesan (encoding) oleh communicator dan penerimaan atau penguraian informasi (decoding) oleh receiver. Di antara communicator dan receiver terdapat communication gap. Communication gap yang menganga tersebut potensial untuk menggagalkan proses komunikasi. Beberapa hal yang mengisi communication gap ini adalah overload, semantic problem, personal bias, dan source credibility.

Kelebihan (overload) informasi adalah sebuah keadaan di mana informasi diterima dalam jumlah yang terlampau besar sehingga muatan-muatan informasi tersebut menyebabkan atau memicu timbulnya reaksi-reaksi negatif pada diri receiver. Parameter besar, kecil, atau terlampau besarnya informasi yang diterima tidak diukur secara absolut dengan satuan tertentu. Terlampau besarnya informasi yang diterima diukur dengan terganggunya sebuah proses komunikasi dalam sebuah entitas.

Semakin banyak kita berada dalam jalur struktural sebuah organisasi maka semakin banyak pula akses informasi. Demikian pula, semakin berada di puncak piramida informasi maka semakin banyak pula akses informasi bagi Anda. Level manajerial tertentu dalam sebuah entitas menyediakan posisi-posisi yang rawan terhadap keadaan overload informasi. Level manajerial menengah ke atas adalah level manajerial yang rawan terhadap kondisi overload informasi. Manajer pada level ini dituntut untuk menyerap informasi dari bawahan sekaligus menjadi katup informasi bagi atasan. Posisi berada di persimpangan informasi ini, menyebabkan level manajerial menengah dan atas berada pada posisi rawan yang akan terjebak dalam overload informasi, meskipun pada dasarnya, semua manajer, bawahan, dan siapa pun potensial untuk terjebak dalam keadaan yang sama.

Kalau Anda kerap menyampaikan informasi kepada murabbi maka itu adalah sebuah perwujudan inisiatif dari followers. Informasi yang Anda sampaikan kepada mas’ul dapat berupa fakta, data, keterangan, angka, persepsi, atau hasil pengamatan lainnya, baik yang bersifat peluang ataupun berupa ancaman. Sebagai wujud dari inisiatif seorang mas’ul, informasi yang diterima ditindaklanjuti dengan sebuah kebijakan yang bersifat top-down. Keadaan overload pada salah satu jenjang manajemen menyebabkan terganggunya proses komunikasi baik aliran informasi ke jenjang manajemen yang lebih tinggi ataupun sebaliknya.



Reaksi Negatif

Menurut G. Miller, terdapat tujuh reaksi negatif dalam komunikasi yang disebabkan oleh keadaan overload informasi. Mari kita becermin. Apakah kita korban dari overload informasi?

Pertama, korban akan gagal memperhitungkan informasi. Dalam keadaan ini, korban memenuhi agenda kerjanya dengan informasi, memiliki kegiatan dalam jumlah besar, serta mempunyai janji atau komitmen dengan pihak lain dalam jumlah besar. Sebagai akibatnya, korban akan gagal dalam memperhitungkan informasi yang telah diterimanya. Kegagalan tersebut bisa dalam bentuk lupa atau dalam bentuk ketidakberdayaan untuk mengelola informasi. Konkretnya, korban banyak lupa dan banyak tugas yang tidak terselesaikan. Manajemen afwan akhi akan subur di lingkungan organisasi yang pelakunya terjebak dalam kondisi overload informasi.

Apakah Anda memiliki kegiatan dalam jumlah besar? Memiliki janji dengan banyak pihak? Anda kerap lupa dengan siapa Anda berjanji apa? Andakah sang korban?

Kedua, korban banyak melakukan kesalahan. Secara normatif, komunikasi dipengaruhi antara lain oleh pengetahuan pribadi yang terlibat, motivasi personal, dan prasangka (personal bias). Dalam hal ini, keadaan overload ditampakkan dalam bentuk diterimanya informasi yang datang silih berganti, bertubi-tubi, dan terkadang memiliki korelasi yang rendah antara satu informasi dengan yang lainnya. Banyaknya forum yang diikuti dan banyaknya keterlibatan di banyak lembaga memberikan banyak sumbangan informasi, di mana pada titik kulminasinya menyebabkan kebingungan, tidak fokus, dan memicu kesalahan.

Pesan yang diterima di rapat kantor adalah bahwa tugas harus selesai besok pagi. Pesan dari yayasan sebagai kesimpulan rapat adalah hendaknya mengolah terlebih dahulu ide yang dilontarkan sampai rapat berikutnya. Pesan istri di rumah adalah membawa oleh-oleh pisang bakar mentega. Apa yang terjadi? Oleh-oleh untuk istri justru berupa jagung rebus, tugas kantor diolah terlebih dahulu, dan ide di yayasan malahan diaktualisasikan. Tentu saja, hal ini menyebabkan kekagetan anggota yayasan yang lain. Bagaimana dengan Anda?

Ketiga, menunda atau menumpuk pekerjaan. Ini merupakan reaksi negatif yang umum dilakukan oleh kita yang terjebak dalam keadaan kelebihan informasi. Dilakukan oleh remaja dan orang tua, mahasiswa dan dosen, guru dan murid, ustadz dan santri, serta oleh pemimpin dan anak buah.

Pada stadium awal penundaan (delaying) tugas merupakan cerminan ketidakmampuan seseorang. Tetapi, pada stadium lanjut, penumpukan dan penundaan tugas ini bisa merupakan refleksi dari penyakit ma’nawiyah untuk selalu meminta penilaian yang lebih tinggi dari kualitas pekerjaannya. Dalam stadium ini, korban senantiasa berusaha menyakinkan pihak lain dan menghibur diri atas ketidakmampuannya dengan berdalih bahwa hanya keterbatasan waktu saja yang menyebabkan hasil kerjanya buruk, tanpa pernah berani mengoreksi diri tentang ketidakmampuannya. Waktu dan banyaknya amanah senantiasa menjadi kambing hitam dari kegagalannya.

Apakah kita kerap menunda pekerjaan? Apakah kita terjebak overload informasi?

Keempat, korban melakukan proses penyaringan atas informasi. Karena beban informasi yang berlebih, korban cenderung melakukan proses penyaringan. Informasi yang overload oleh korban kemudian disaring dengan cara menghilangkan sebagian dan sebagian yang lain diabaikan. Dalam hal ini, korban menentukan skala prioritas atas informasi yang diterima. Penentuan skala prioritas setelah datangnya informasi adalah proses penyaringan. Hasilnya bisa berupa pengabaian atau bahkan penghilangan informasi. Proses penyaringan ini membuka peluang timbulnya persepsi kelompok yang keliru. Informasi penting berubah menjadi informasi yang diabaikan atau sebaliknya, informasi tidak penting menjelma menjadi informasi yang sangat penting secara subjektif.

Kitakah si penghilang informasi itu?

Kelima, korban hanya menangkap garis besar informasi. Informasi secara rinci tidak cukup menarik baginya dan tidak mendapat tempat dalam memorinya. Informasi kuantitatif dari sebuah proses seleksi karyawan berupa sekian orang lulus, sekian orang mengulang, sekian orang lulus dengan catatan, dan sekian orang tidak lulus sudah memadai bagi korban, tanpa meneliti lebih lanjut bagaimana proses seleksi itu sendiri.

Keenam, korban mendelegasikan tugas. Pendelegasian tugas biasanya dilakukan oleh tiga tipe pemimpin. Pertama, oleh pemimpin yang sangat sibuk dan memiliki staf yang memadai. Kedua, oleh pemimpin yang malas untuk terlibat langsung dalam tugas. Ketiga, oleh pemimpin yang baik hati serta bijak untuk mendidik staf.

Sebagai contoh, seorang ketua fraksi mendelegasikan kepada kelima anggotanya-masing-masing satu orang untuk rapat komisi, kunjungan kerja, menerima demonstran, mewakilinya dalam rakor antarfraksi dan penyusunan draf anggaran dewan. Sementara itu, dia rihlah (piknik) ke Bali beserta keluarga. Atau dosen yang menugaskan tugas mengajar pada asistennya, memberi tugas pada mahasiswanya, sementara ia melakukan perjalanan ke luar kota untuk sebuah proyek.

Kitakah pemimpin sibuk yang rajin mendelegasikan tugas? Kitakah si pemalas yang menjadi pemimpin? Atau kita sang pemimpin baik hati, bijak, dan pendidik?

Terakhir, korban menghindari informasi. Jika korban telah sadar bahwa dirinya terjebak dalam kelebihan informasi maka reaksinya adalah menghindari informasi, menghindari tempat-tempat informasi, dan menghindari sumber-sumber informasi. Reaksi yang diambil ini merupakan upaya untuk mengurangi akses informasi serta mengurangi stres karena kelebihan informasi.

Secara operasional, reaksi ini sulit dibedakan dengan gejala futur oleh sebab yang lain. Futur jenis ini adalah sebuah kesengajaan untuk menghindari informasi sekaligus menghindari stres. Penanganan futur jenis ini tentu juga memerlukan terapi yang spesifik. Dalam beberapa kasus futur, kita tidak cukup memiliki data tentang penyebab seseorang futur. Jika hal itu yang terjadi, boleh jadi karena overload informasi.

Segala sesuatu yang berlebihan senantiasa tidak baik. Demikian pula halnya dengan akses informasi. Minimnya informasi memang akan menghambat kita dalam hal inisiatif, kreativitas, dan kegiatan dakwah. Tetapi, overload informasi juga bukan keadaan ideal. Reaksi negatif dalam komunikasi tersebut di atas setidaknya mengisyaratkan tentang bahaya dari keadaan overload informasi yang mengancam kesinambungan gerak dakwah.

Hal yang selalu mudah untuk kita jadikan kambing hitam adalah struktur dan yang paling mudah kita tuding adalah rekan sejawat dan followers. Hal yang tidak mudah untuk dibangun adalah jaringan ideal informasi; sebuah jaringan yang tidak sangat berhajat pada satu orang dan tidak macet di sana-sini.

Spesialisasi atau setidaknya kejelasan ruang lingkup tugas merupakan tahap awal menghindari overload informasi. Memperjelas alur informasi, wewenang pengawasan, dan otoritas evaluasi merupakan fondasi yang kuat sebagaimana fondasi bagi sebuah bangunan. Aspek moral dan integritas menjadi pengawal bagi keberhasilan alur informasi. Kesadaran bahwa suasana dakwah adalah amanah dan bukan suasana kewenangan. Selanjutnya, menjaga keseimbangan menjadi kata kunci. Membatasi kerja secara proporsional sesuai wewenang dan kemampuan adalah upaya penjagaan keseimbangan, sebagaimana menjaga keseimbangan hubungan antara jasmani, ruhani, dan akal, serta lainnya. Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar