Dua kelompok anak SD diminta untuk membaca suatu tulisan. Satu kelompok diberitahu bahwa mereka akan diuji mengenai bacaan mereka; kelompok lain tidak diberitahu mengenai ujian tersebut. Saat kedua kelompok itu diuji, kelompok yang diberitahu akan ada ujian menunjukkan ingatan mekanik yang lebih baik, tapi kelompok yang tidak diberitahu akan ada ujian memiliki pemahaman yang lebih baik mengenai konsep yang terkandung didalam bacaan. Yang menarik, satu minggu setelah ujian, para peneliti kembali lagi untuk menguji masing-masing kelompok tadi. Seperti yang mereka kira, tidak satupun dari anak-anak itu mengingat bacaan sebanyak ujian yang pertama. Meskipun begitu, yang mengherankan adalah, anak-anak yang pada awalnya diberitahu akan ada ujian sudah banyak yang lupa daripada anak-anak yang hanya membaca bacaan tanpa diminta ikut ujian.
Dalam penelitian demi penelitian –di rumah, di sekolah, di tempat kerja- hasilnya serupa: orang-orang yang diizinkan untuk membuat keputusan mengenai cara mereka bersikap dapat bekerja lebih kompeten dan lebih efektif daripada mereka yang perilakunya dikendalikan dengan ketat dan dinilai oleh orang lain.
Banyak sekolah yang mencoba meningkatkan prestasi murid-murid-nya dengan cara menawarkan hadiah dan uang untuk mereka yang punya nilai bagus. Pikirkan sejenak ide ini! Bukankah seperti ini agak melenceng dari misi pembelajaran yang seharusnya terjadi? Belajar menjadi bukan sesuatu yang dipilih oleh seorang individu normal, namun berdasarkan ketertarikan akan hadiah, sertifikat dan penghargaan sebagai bintang kelas. Hal yang hampir mirip juga terjadi didunia kantor dan perusahaan.
Meskipun penghargaan yang dibuat untuk mempengaruhi perilaku orang bisa efektif dalam jangka pendek, namun penerapan yang berlanjut bisa menjadi kurang efektif untuk memunculkan perilaku yang diinginkan, pada kenyataannya malah bisa mencegah munculnya perilaku tersebut. Yang terjadi, sistem imbalan memfokuskan perhatian pada penghargaan dan bukan pada tugas awal. Mahasiswa mulai terfokus untuk menjaga nilai indeks kumulatifnya, berkonsentrasi untuk menulis makalah, mengerjakan praktikum yang akan memberikan nilai-nilai tinggi dan sekedar mencapai batas minimal untuk lulus mata kuliah. Begitu dia menerima nilai yang diinginkan atau begitu dia lulus ujian, apa yang dia pelajari cepat dilupakan untuk mempersiapkan mata kuliah berikutnya, ujian berikutnya, dan nilai berikutnya. Para pekerja yang mencari bonus-bonus perusahaan mulai terfokus untuk memaksimalkan penjualan dengan merusak kepuasan pelanggan, yang akan berujung pada penurunan penjualan dalam jangka panjang.
Faktanya memang demikian, bukan? Cara-cara pemberian hadiah dan bonus mematikan tumbuhnya motivasi orisinil dari diri. Individu tidak diberi kesempatan untuk mengerti alasan perilaku yang diminta dan tidak diberi kesempatan untuk bekerja sama secara sukarela. Motivasi diri memiliki dua komponen utama: keaslian dan otonomi. Yang dimaksud dengan keaslian, seseorang harus bertindak sesuai dengan diri mereka sendiri secara jujur dan bukan hanya sekedar menginternalisasikan nilai-nilai orang lain. Yang dimaksud dengan otonomi adalah individu harus mengendalikan perilakunya sendiri, memutuskan apa yang harus dilakukan dan bagaimana harus bersikap. Secara praktis kedua komponen ini dapat diterapkan dengan menggunakan apa yang disebut dengan tiga C: content (isi), collaboration (kerjasama), dan choice (pilihan). –tiga C itu bukan cemen,culun, dan cengeng– Jadi pada tahap awal, individu diajak untuk mengerti content (isi) dalam arti tujuan, sasaran atau obyektif suatu pelajaran atau suatu pekerjaan. Lalu dijelaskan tentang pentingnya collaboration (kerjasama) untuk mencapai tujuan tersebut dengan tidak membatasi atau menutup pilihan-pilihan (choice) alternatif mengenai bagaimana cara mencapai sasaran tersebut serta menimbang pilihan mana yang paling efektif dan efisien. Dari sini kreatifitas menemukan ruang aktualisasi yang lebih lebar.
Dengan cara ini, dosen, guru, professor, manager, atasan, direktur, mengambil porsi peranan yang lebih besar sebagai mitra kerja tanpa mengurangi peran kepemimpinannya dalam mengambil keputusan. Dalam lingkup cara mendidik, pendidikan tanpa sekolah membuka peluang lebar-lebar dalam menumbuhkan motivasi diri, sementara sekolah konvensional cenderung kurang membuka peluang tersebut. Wallahu’alam bishawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar