Pada tulisan sebelumnya, kita telah membahas sejumlah momentum yang dapat memicu upaya memperbaiki diri. Akan tetapi momentum-momentum tersebut sebenarnya hanya alat bantu. Bila digunakan dengan baik, insya Allah akan memberi hasil yang maksimal. Tetapi yang perlu disadari, bagaimana setiap muslim terus menerus mengenali tabiat dirinya sendiri. Kapan saat-saat ia mulai terasa akan bergeser dari jalan kebaikan ke jalan keburukan. Tabiat dan karakter orang berbeda-beda. Harus ada kesadaran yang hidup selalu. Karena syetan juga tidak akan pernah diam dari menggoda manusia. Allah Swt berfirman, ”Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka ditimpa was-was oleh syetan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahan-nya.”(QS. Al-A’raf:201).
Selain itu, setiap muslim juga harus mengenali dengan cara apa biasanya dia bisa kembali ke kondisi yang normal. Momentum-momentum tersebut bisa dipilih sesuai tabiat diri masing-masing, tapi sesudah itu perlu ditindaklanjuti dengan ibadah tertentu. Karena ibadah formal –selain do’a—tetap menjadi media kontak langsung seorang hamba dengan Rabb-nya.
Ada orang yang terbiasa menjadikan puasa sebagai gebrakan awal dirinya untuk kembali ke jalan kebaikan. Ada yang menjadikan tilawah membaca Al-Qur’an secara rutin sebagai pintu awalnya kembali ke jalan yang baik. Ada yang dengan sholat malam, ada yang dengan bersedekah, ada yang dengan selalu sholat berjamaah di masjid tepat waktu, dan masih banyak lagi yang lainnya. Bisa jadi masing-masing kita punya pemicu yang berbeda.
Dengan ikhtiar-ikhtiar yang maksimal itu, kelak, seorang muslim tidak sampai harus menyesal, bila ia harus menerima balasan yang setimpal. Berupa pahala untuk segala kebaikannya, atau siksa penebus dan penghapus keburukannya. Karena Allah tidak mendzalimi hamba-Nya sebesar dzarah-pun. Seperti dinyatakan-Nya dalam hadits Qudsi, ”Wahai hamba-Ku, semua hanyalah amal-amal kamu yang Aku hitung, lalu Aku tunaikan pembalasannya. Maka barang siapa mendapatinya baik, hendaklah kepada Allah ia sampaikan puji. Dan barangsiapa mendapati sebaliknya, janganlah ia mencela kecuali dirinya sendiri.” (HR. Muslim).
Kau tak lagi menambah sepi jiwaku, Tapi lebur entah ke mana, Semoga ini menjadi keabadian jiwa Selamanya
Selasa, 29 Juni 2010
Jangan pernah putus asa
Sejarah kesalahan manusia sangat panjang. Sepanjang rentang antara kelahiran dan kematian manusia itu sendiri, bahkan lebih panjang lagi. Kesalahan telah ada sejak kali pertama Nabi Adam belum berturun putra. Ketika ia tergoda oleh rayuan syetan untuk memakan buah, yang oleh syetan dijanjikan akan membuatnya abadi.
Ini bukan gugatan untuk bapak kita, Nabi mulia dan manusia pertama yang diciptakan langung oleh Allah Swt dengan tangan-Nya. Siapapun tidak punya kapasitas –bahkan argumentasi—untuk mempersalahkan Nabi Adam, bapak semua manusia. Apalagi Allah Swt sendiri telah mengampuni kesalahan itu.
Banyak hal yang terjadi di dunia ini dan mesti kita maknai sebagai wujud otoritas Allah Swt Yang Maha Berkuasa dan Maha Berkehendak, dalam lingkup keadilan-Nya yang sempurna. Karenanya yang mungkin dilakukan adalah mendudukan keberadaan dosa dan kesalahan dalam timbangan syari’at dan dalam alur logika kemanusiaan yang semestinya. Untuk kemudian, setiap muslim, apapun statusnya, kaya atau miskin, pintar atau tidak, berpangkat atau rakyat biasa, menyadari sepenuhnya bahwa ia tidak bisa lari dari kodrat kemanusiaan itu.
Dari kesadaran itu diharapkan lahir pemahaman yang utuh, sikap yang tepat, serta tindakan yang benar. Bahwa tidak mungkin manusia melambung menjadi makhluk suci tanpa cela. Tetapi membiarkan diri terjerembab dalam perilaku buruk dan nista juga tidak dibenarkan. Hidup memang pertarungan. Selalu ada saat kalah dan juga saat menang. Bagai roda siang dan malam, berputar beriringan. Tetapi manusia harus berjuang untuk kemenangan hidup, meski kadang harus tegar atas kesalahan.
Rasulullah Saw, sang manusia pilihan juga pernah salah. Ketika beliau mengabaikan Abdullah bin Ummi Maktum dan lebih memperhatikan pembesar-pembesar Quraisy. Allah Swt langsung menegurnya. Hal ini diabadikan dalam sebuah surat yang berada di Juz Amma yaitu surat ’Abasa yang artinya adalah ’Yang bermuka masam’. Teguran itu, disisi lain menjelaskan bahwa Rasulullah tidak akan salah dalam menunaikan tugas kenabiannya. Karena seketika akan langsung diluruskan oleh Allah Swt.
Namun, dalam kapasitas manusia, ia pernah salah. Karenanya, seringkali beliau menggabungkan dua label pada dirinya, ” Aku ini hamba dan Rasul-Nya.” Lafaz ’hamba’ menegaskan bahwa ia juga seperti manusia yang lain. Tetapi ia berbeda karena ia menjadi Rasul.
Kita tidak sedang membandingkan diri kita dengan Rasulullah. Tidak saja perbandingan itu salah alamat, tetapi karena memang antara kita dan Rasulullah tidak mungkin diperbandingkan. Semuanya hanya penegasan ulang bahwa manusia tidak mungkin lari dari kesalahan. Manusia juga diciptakan dengan potensi baik dan buruk. ”Maka Allah Swt mengilhamkan kepada jiwa itu kefasikan dan ketakwaan.” (QS. Asy-Syams: 8 ). Rasulullah Saw juga menegaskan bahwa manusia itu memang banyak salahnya. Tetapi sebaik-baik orang yang banyak salahnya adalah orang yang banyak taubatnya. (Hadits dari Anas, riwayat Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad).
Maka masalahnya bukan bagaimana mematikan dosa. Itu sangat mustahil. Boleh jadi hari ini seorang muslim mengakhiri kesalahannya. Tapi sangat mungkin pula, esok atau lusa ia tergelincir dalam kesalahan lagi. Namun itu bukan alasan untuk mencari-cari ’pembenaran’ atas kesalahan dan dosa. Seperti yang dilakukan kebanyakan orang, yang merasa tidak punya kekuatan ikhtiar. Ia merasa segalanya ’dipaksakan’ Allah swt kepada dirinya, termasuk perilaku buruknya. Ini tentu sangat fatal. Tidak benar secara aqidah maupun etika terhadap Allah Swt. Bagaimanapun, kesalahan akan diganjar dengan siksa atau pemaafan. Sebagaimana kebaikan selalu dijanjikan pahala.
Karenanya, masalah utamanya adalah bagaimana ada proses perbaikan diri yang berkesinambungan (continues improvement). Karena perbaikan tak kenal kata berhenti. Dan itulah sebenarnya inti dari taubat, yang diilustrasikan Allah ketika menggambarkan orang-orang yang bertakwa, ”(Yaitu) orang-orang yang berdo’a, ’Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah beriman, maka ampunilah segala dosa kami dan peliharalah kami dari siksa api neraka. (Yaitu) orang-orang yang sabar, yang tetap taat, yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah), dan yang memohon ampun diwaktu sahur.” (QS. Ali Imran: 16-17).
Semangat perbaikan diri seharusnya selalu menyala dalam jiwa setiap muslim. Karena Allah swt tidak pernah menutup pintu taubat, sebelum nyawa seseorang sampai di kerongkongan. Ampunan Allah Swt jauh lebih luas dari dosa-dosa hamba-Nya. ”Katakanlah: ’ wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun dan Maha Penyayang.” (QS. Az Zumar:53)
Semua itu harus membuat setiap muslim optimis dan percaya sepenuh hati, bahwa selalu ada peluang dan kesempatan untuk memperbaiki diri. Waktu belum lagi habis. Kehidupan belumlah usai. Secepatnya harus dimanfaatkan, selagi matahari belum terbit dari barat ke timur untuk tenggelam.
Bahkan Rasulullah menyatakan, sebagaimana diriwayatkan Imam Muslim, "Seandainya manusia itu tidak berbuat dosa, niscaya Allah akan menghilangkan mereka, lalu mendatangkan kaum yang lain. Lalu kaum yang baru itu berbuat dosa, lantas memohon ampun, dan Allahpun mengampuni dosa-dosa mereka.” (HR. Muslim).
Fakta-fakta di atas tidak memerlukan penjelasan yang rumit. Segalanya begitu gamblang. Kasih sayang Allah begitu luas. Rahmat dan ampunan-Nya begitu besar. Tapi semua itu bisa menjadi bumerang bagi orang-orang yang merasa tidak bertanggung jawab. Kelapangan dan keluasan ampunan Allah tidak untuk dipermainkan. Ia hanya bisa menjadi spirit bagi orang-orang yang jujur dan mau meniti jalan kebaikan.
Dibutuhkan sikap bijak dalam menyikapi kebaikan dan keburukan. Diperlukan kefahaman dalam menimbang pahala dan dosa. Harus ada rasa penerimaan yang dalam atas segala ketetapan Allah. Tapi bukan kepasrahan dalam kekalahan. Orang-orang yang menang bukan mereka yang lari dari kenyataan hidup. Tetapi yang arif mensiasati hidup. Ya, karena hidup memang adil.
Ini bukan gugatan untuk bapak kita, Nabi mulia dan manusia pertama yang diciptakan langung oleh Allah Swt dengan tangan-Nya. Siapapun tidak punya kapasitas –bahkan argumentasi—untuk mempersalahkan Nabi Adam, bapak semua manusia. Apalagi Allah Swt sendiri telah mengampuni kesalahan itu.
Banyak hal yang terjadi di dunia ini dan mesti kita maknai sebagai wujud otoritas Allah Swt Yang Maha Berkuasa dan Maha Berkehendak, dalam lingkup keadilan-Nya yang sempurna. Karenanya yang mungkin dilakukan adalah mendudukan keberadaan dosa dan kesalahan dalam timbangan syari’at dan dalam alur logika kemanusiaan yang semestinya. Untuk kemudian, setiap muslim, apapun statusnya, kaya atau miskin, pintar atau tidak, berpangkat atau rakyat biasa, menyadari sepenuhnya bahwa ia tidak bisa lari dari kodrat kemanusiaan itu.
Dari kesadaran itu diharapkan lahir pemahaman yang utuh, sikap yang tepat, serta tindakan yang benar. Bahwa tidak mungkin manusia melambung menjadi makhluk suci tanpa cela. Tetapi membiarkan diri terjerembab dalam perilaku buruk dan nista juga tidak dibenarkan. Hidup memang pertarungan. Selalu ada saat kalah dan juga saat menang. Bagai roda siang dan malam, berputar beriringan. Tetapi manusia harus berjuang untuk kemenangan hidup, meski kadang harus tegar atas kesalahan.
Rasulullah Saw, sang manusia pilihan juga pernah salah. Ketika beliau mengabaikan Abdullah bin Ummi Maktum dan lebih memperhatikan pembesar-pembesar Quraisy. Allah Swt langsung menegurnya. Hal ini diabadikan dalam sebuah surat yang berada di Juz Amma yaitu surat ’Abasa yang artinya adalah ’Yang bermuka masam’. Teguran itu, disisi lain menjelaskan bahwa Rasulullah tidak akan salah dalam menunaikan tugas kenabiannya. Karena seketika akan langsung diluruskan oleh Allah Swt.
Namun, dalam kapasitas manusia, ia pernah salah. Karenanya, seringkali beliau menggabungkan dua label pada dirinya, ” Aku ini hamba dan Rasul-Nya.” Lafaz ’hamba’ menegaskan bahwa ia juga seperti manusia yang lain. Tetapi ia berbeda karena ia menjadi Rasul.
Kita tidak sedang membandingkan diri kita dengan Rasulullah. Tidak saja perbandingan itu salah alamat, tetapi karena memang antara kita dan Rasulullah tidak mungkin diperbandingkan. Semuanya hanya penegasan ulang bahwa manusia tidak mungkin lari dari kesalahan. Manusia juga diciptakan dengan potensi baik dan buruk. ”Maka Allah Swt mengilhamkan kepada jiwa itu kefasikan dan ketakwaan.” (QS. Asy-Syams: 8 ). Rasulullah Saw juga menegaskan bahwa manusia itu memang banyak salahnya. Tetapi sebaik-baik orang yang banyak salahnya adalah orang yang banyak taubatnya. (Hadits dari Anas, riwayat Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad).
Maka masalahnya bukan bagaimana mematikan dosa. Itu sangat mustahil. Boleh jadi hari ini seorang muslim mengakhiri kesalahannya. Tapi sangat mungkin pula, esok atau lusa ia tergelincir dalam kesalahan lagi. Namun itu bukan alasan untuk mencari-cari ’pembenaran’ atas kesalahan dan dosa. Seperti yang dilakukan kebanyakan orang, yang merasa tidak punya kekuatan ikhtiar. Ia merasa segalanya ’dipaksakan’ Allah swt kepada dirinya, termasuk perilaku buruknya. Ini tentu sangat fatal. Tidak benar secara aqidah maupun etika terhadap Allah Swt. Bagaimanapun, kesalahan akan diganjar dengan siksa atau pemaafan. Sebagaimana kebaikan selalu dijanjikan pahala.
Karenanya, masalah utamanya adalah bagaimana ada proses perbaikan diri yang berkesinambungan (continues improvement). Karena perbaikan tak kenal kata berhenti. Dan itulah sebenarnya inti dari taubat, yang diilustrasikan Allah ketika menggambarkan orang-orang yang bertakwa, ”(Yaitu) orang-orang yang berdo’a, ’Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah beriman, maka ampunilah segala dosa kami dan peliharalah kami dari siksa api neraka. (Yaitu) orang-orang yang sabar, yang tetap taat, yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah), dan yang memohon ampun diwaktu sahur.” (QS. Ali Imran: 16-17).
Semangat perbaikan diri seharusnya selalu menyala dalam jiwa setiap muslim. Karena Allah swt tidak pernah menutup pintu taubat, sebelum nyawa seseorang sampai di kerongkongan. Ampunan Allah Swt jauh lebih luas dari dosa-dosa hamba-Nya. ”Katakanlah: ’ wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun dan Maha Penyayang.” (QS. Az Zumar:53)
Semua itu harus membuat setiap muslim optimis dan percaya sepenuh hati, bahwa selalu ada peluang dan kesempatan untuk memperbaiki diri. Waktu belum lagi habis. Kehidupan belumlah usai. Secepatnya harus dimanfaatkan, selagi matahari belum terbit dari barat ke timur untuk tenggelam.
Bahkan Rasulullah menyatakan, sebagaimana diriwayatkan Imam Muslim, "Seandainya manusia itu tidak berbuat dosa, niscaya Allah akan menghilangkan mereka, lalu mendatangkan kaum yang lain. Lalu kaum yang baru itu berbuat dosa, lantas memohon ampun, dan Allahpun mengampuni dosa-dosa mereka.” (HR. Muslim).
Fakta-fakta di atas tidak memerlukan penjelasan yang rumit. Segalanya begitu gamblang. Kasih sayang Allah begitu luas. Rahmat dan ampunan-Nya begitu besar. Tapi semua itu bisa menjadi bumerang bagi orang-orang yang merasa tidak bertanggung jawab. Kelapangan dan keluasan ampunan Allah tidak untuk dipermainkan. Ia hanya bisa menjadi spirit bagi orang-orang yang jujur dan mau meniti jalan kebaikan.
Dibutuhkan sikap bijak dalam menyikapi kebaikan dan keburukan. Diperlukan kefahaman dalam menimbang pahala dan dosa. Harus ada rasa penerimaan yang dalam atas segala ketetapan Allah. Tapi bukan kepasrahan dalam kekalahan. Orang-orang yang menang bukan mereka yang lari dari kenyataan hidup. Tetapi yang arif mensiasati hidup. Ya, karena hidup memang adil.
Momentum perbaikan diri
Proses perbaikan diri, menggapai ridha dan ampunan ilahi, kadang-kadang dipengaruhi banyak hal. Tidak saja faktor internal orangnya, tapi juga lingkungan yang mengitarinya. Walaupun variabel diluar diri manusia sebenarnya lebih bersifat pendukung semata. Selebihnya banyak unsur dikembalikan kepada diri orang tersebut.
Namun begitu, menganggap remeh faktor lingkungan juga kurang tepat. Bila proses perbaikan diri selalu terkalahkan oleh lingkungan, itu memang ironis. Tapi kalau lingkungan bisa direkayasa untuk menyukseskan proses perbaikan diri apa salahnya. Lingkungan –baik waktu, tempat, maupun peristiwa— sebenarnya bisa menjadi momentum perbaikan diri yang luar biasa. Karenanya, tidak harus seorang muslim membuang muka dengan lingkungan. Lebih baik menjadikannya sebagai momentum perbaikan diri. Berikut ini beberapa contoh momentum penting yang sangat strategis bagi upaya perbaikan diri. Setiap muslim bisa memanfaatkannya sesuai kapasitas masing-masing:
Tertimpa musibah atau ujian
Bertafakkur alam
Pergantian waktu dan peristiwa
Melakukan muhasabah dan kontemplasi
1. Tertimpa musibah atau ujian
Hidup tak selamanya menyenangkan. Tidak jarang musibah datang mengganti warna-warni keceriaan. Ditinggal mati ayah, ibu, suami, istri dan anak sebagai contoh. Tidak lulus ujian, terputus dari pekerjaan juga musibah. Demikian pula kehilangan harta kekayaan, tertimpa bencana alam, atau mengalami hal-hal lain yang tidak menyenangkan.
Bagi seorang muslim, segala peristiwa pahit itu harus bisa menjadi momentum perbaikan sekaligus alat mengevaluasi diri. Tetapi menjadi baik dengan bertumpu pada musibah tentu kurang bijak. Apalagi secara syari’at dan etika, tidak diperkenankan mengharap-harap musibah.
Dengan musibah akan ada rasa ketergantungan kepada yang lebih perkasa, yang lebih kuat, yang lebih menjanjikan. Allah lah tempat menggantungkan segala rasa itu. Kepada-Nya segala keluh kesah bisa leluasa ditumpahkan. Kesadaran ini sangat manusiawi, bagian dari fitrah yang masih murni. Fir’aun saja, begitu pasrah pada detik-detik terakhir menjelang kematiannya. Hingga ia membenarkan bahwa Tuhan yang benar adalah Tuhannya Musa, Allah Swt. Tetapi segalanya telah terlambat. Begitulah manusia, seringkali kesadaran baru hadir dalam dirinya setelah segalanya harus berakhir.
Hanya saja, yang perlu diperhatikan, bagaimana menjaga stamina perbaikan diri itu agar tetap sesegar saat musibah dan ujian itu menimpa. Sebab, seakan menjadi tabiat manusia, sering kali ia menjadi baik tatkala musibah masih menerpa. Begitu segalanya normal, secepat itu pula ia kembali kepada tabiat buruknya. Allah Swt mengingatkan, ”Dan apabila manusia ditimpa bahaya dia berdo’a kepada Kami dalam keadaan berbaring, duduk, atau berdiri, tetapi setelah kami hilangkan bahaya itu daripadanya, dia kembali melalui jalan yang sesat, seolah-olah dia tidak pernah berdo’a kepada Kami untuk menghilangkan bahaya yang telah menimpanya.” (QS. Yunus: 12).
2. Bertafakkur alam
Cara lain untuk membuat momentum perbaikan diri adalah dengan bertafakkur alam. Maksudnya, dengan cara menghayati isi alam ini. Entah itu sawah, ladang, sungai atau ngarainya, gunung atau lembahnya, lautan atau daratannya, bumi atau langitnya, dengan segala tabiat-tabiat khas yang berbeda-beda.
Termasuk obyek yang layak ditafakkuri adalah beragam suku yang mendiami berhampar-hampar belahan bumi. Seperti yang ada di Jepang misalnya. Disini ilmu sosiologi dan antropologi menjadi alat bantu yang sangat penting. Sungguh sangat menarik mempelajari rute pencarian seseorang atau sekelompok orang untuk mendefinisikan siapa Tuhannya dan setelah itu mengikat diri mereka dengan aturan-aturan dan tata nilai sosial yang berporos pada penghayatan akan keberadaan sesuatu yang mereka posisikan sebagai Tuhan. Terbukti bahwa nalar dan imajinasi manusia yang masih fitrah selalu menuju pada kutub kebaikan yang sama yang sesuai dengan nilai-nilai Islam yang fitrah. Akan tetapi didalam Islam sendiri, cara mendapatkannya berbeda. Melalui ayat-ayat suci Al-Qur’an, Allah Swt memperkenalkan diri-Nya, menjelaskan sifat-sifat-Nya dan menegaskan aturan-aturan hidup yang menghidupkan kemanusiaan manusia selaku hamba-Nya. Sejumlah Nabi dan Rasul diutus oleh Allah untuk mencontohkan kepada manusia tentang bagaimana cara yang benar untuk menghamba kepada Allah. Oleh karenanya, sebagai muslim, kita harus bersyukur telah memperoleh hidayah dari Allah, sehingga kita tetap meyakini dan ridho Islam sebagai agama yang kita cintai.
Disisi lain, Allah Swt memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk berjalan dimuka bumi, melihat bagaimana akibat orang-orang yang dzalim. Dalam konteks semua itulah penghayatan alam semesta beserta segala isinya bisa berfungsi menjadi momentum perbaikan diri. Dalam Al-Qur’an, Allah juga banyak memberikan pertanyaan kepada hamba-Nya. ”Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan. Dan langit bagaimana ia ditinggikan? Gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan. Dan bumi bagaimana ia dihamparkan?” (QS. Al-Ghasyiyah: 17-20).
”Maka terangkanlah kepada ku tentang apa yang kamu tanam? Kamukah yang menumbuhkannya atau Kami yang menumbuhkannya?” (QS. Al-Waqi’ah: 63-64). ”Maka terangkanlah kepada ku tentang air yang engaku minum. Kamukah yang menurunkannya dari awan ataukah Kami yang menurunkannya?” (QS. Al-Waqi’ah: 68-69).
Pertanyaan-pertanyaan itu tidak untuk dijawab: ya atau tidak. Tetapi pertanyaan untuk menafikan jawaban selain ya. Allah lah yang menurunkan hujan, mengasinkan air laut dan menawarkan air tanah. Itu memang pertanyaan penafikan yang dalam bahasa arab dikenal dengan istifham inkari.
3. Pergantian waktu dan peristiwa
Bergesernya waktu seringkali melahirkan peristiwa baru. Berpindahnya masa tak jarang berdampak kepada munculnya kondisi yang berbeda. Pergantian waktu dan peristiwa adalah momentum. Mahalnya momentum dari pergantian waktu dan peristiwa bisa diresapi dari banyaknya sumpah-sumpah Allah atas waktu yang berbeda-beda. ”Demi fajar.” (QS. Al-Fajr:1) ”Demi waktu matahri sepenggalahan naik.” (QS. Adh-Dhuha:1) ”Demi malam apabila menutupi (cahaya siang). Dan siang apabila terang-benderang.” (QS. Al-Lail:1-2).
Rasulullah mengajarkan do’a-do’a tertentu untuk peristiwa-peristiwa tertentu. Saat mendengar petir, saat hujan turun dengan deras, saat mendengar kokok ayam, saat mendengar lolongan anjing, dan lain sebagainya. Do’a-do’a itu tak lain merupakan simpul pengikat antara seorang muslim dengan Rabb-nya. Dengan simpul itu ada sebuah alur perbaikan diri yang diawali dari kesadaran. Kesadaran bahwa dirinya terikat dengan Rabb-nya. Dan, itu artinya dia harus terikat dengan kebaikan agar tidak mendapat murka Allah. Karenanya, setiap muslim hendaknya pandai-pandai memanfaatkan perubahan waktu dan peristiwa yang mengiringi hidupnya, untuk dijadikan momentum perbaikan diri.
4. Melakukan muhasabah dan kontemplasi
Kontemplasi dengan melakukan muhasabah diri merupakan momentum perbaikan yang sangat berarti bagi setiap muslim. Muhasabah adalah menghitung kembali tindak-tanduk, dengan kalkulasi kejujuran yang tak menyisakan setitik pun arogansi. Betapa tidak mudahnya manusia untuk jujur kepada dirinya sendiri. Upaya perbaikan diri juga berkaitan erat dengan kebutuhan seorang muslim akan bekal dihari akhirnya kelak. Karenanya, fungsi muhasabah dan kontemplasi sangat penting. Begitulah Al-Qur’an mengajarkan kepada kita, ”Dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang hendak diperbuatnya untuk hari esok (akhirat).” (QS. Al-Hasyr:18).
Para sahabat dan ulama terdahulu (salafussholeh) mengajarkan kepada kita, betapa mereka sering membiasakan diri melakukan kontemplasi. Menghitung baik buruk perilakunya. Beberapa diantara mereka bahkan memberikan sanksi bagi dirinya sendiri atas kesalahan yang mereka temukan, menghukum diri mereka atas kekurangan yang mereka lakukan. Proses kontemplasi yang jujur memang melahirkan kematangan jiwa dan kejujuran ynag utuh. Saat itulah, orang tidak lagi takut kecuali kepada Tuhannya. Tidak merasa kuat kecuali bersama Rabb-nya.
Namun begitu, menganggap remeh faktor lingkungan juga kurang tepat. Bila proses perbaikan diri selalu terkalahkan oleh lingkungan, itu memang ironis. Tapi kalau lingkungan bisa direkayasa untuk menyukseskan proses perbaikan diri apa salahnya. Lingkungan –baik waktu, tempat, maupun peristiwa— sebenarnya bisa menjadi momentum perbaikan diri yang luar biasa. Karenanya, tidak harus seorang muslim membuang muka dengan lingkungan. Lebih baik menjadikannya sebagai momentum perbaikan diri. Berikut ini beberapa contoh momentum penting yang sangat strategis bagi upaya perbaikan diri. Setiap muslim bisa memanfaatkannya sesuai kapasitas masing-masing:
Tertimpa musibah atau ujian
Bertafakkur alam
Pergantian waktu dan peristiwa
Melakukan muhasabah dan kontemplasi
1. Tertimpa musibah atau ujian
Hidup tak selamanya menyenangkan. Tidak jarang musibah datang mengganti warna-warni keceriaan. Ditinggal mati ayah, ibu, suami, istri dan anak sebagai contoh. Tidak lulus ujian, terputus dari pekerjaan juga musibah. Demikian pula kehilangan harta kekayaan, tertimpa bencana alam, atau mengalami hal-hal lain yang tidak menyenangkan.
Bagi seorang muslim, segala peristiwa pahit itu harus bisa menjadi momentum perbaikan sekaligus alat mengevaluasi diri. Tetapi menjadi baik dengan bertumpu pada musibah tentu kurang bijak. Apalagi secara syari’at dan etika, tidak diperkenankan mengharap-harap musibah.
Dengan musibah akan ada rasa ketergantungan kepada yang lebih perkasa, yang lebih kuat, yang lebih menjanjikan. Allah lah tempat menggantungkan segala rasa itu. Kepada-Nya segala keluh kesah bisa leluasa ditumpahkan. Kesadaran ini sangat manusiawi, bagian dari fitrah yang masih murni. Fir’aun saja, begitu pasrah pada detik-detik terakhir menjelang kematiannya. Hingga ia membenarkan bahwa Tuhan yang benar adalah Tuhannya Musa, Allah Swt. Tetapi segalanya telah terlambat. Begitulah manusia, seringkali kesadaran baru hadir dalam dirinya setelah segalanya harus berakhir.
Hanya saja, yang perlu diperhatikan, bagaimana menjaga stamina perbaikan diri itu agar tetap sesegar saat musibah dan ujian itu menimpa. Sebab, seakan menjadi tabiat manusia, sering kali ia menjadi baik tatkala musibah masih menerpa. Begitu segalanya normal, secepat itu pula ia kembali kepada tabiat buruknya. Allah Swt mengingatkan, ”Dan apabila manusia ditimpa bahaya dia berdo’a kepada Kami dalam keadaan berbaring, duduk, atau berdiri, tetapi setelah kami hilangkan bahaya itu daripadanya, dia kembali melalui jalan yang sesat, seolah-olah dia tidak pernah berdo’a kepada Kami untuk menghilangkan bahaya yang telah menimpanya.” (QS. Yunus: 12).
2. Bertafakkur alam
Cara lain untuk membuat momentum perbaikan diri adalah dengan bertafakkur alam. Maksudnya, dengan cara menghayati isi alam ini. Entah itu sawah, ladang, sungai atau ngarainya, gunung atau lembahnya, lautan atau daratannya, bumi atau langitnya, dengan segala tabiat-tabiat khas yang berbeda-beda.
Termasuk obyek yang layak ditafakkuri adalah beragam suku yang mendiami berhampar-hampar belahan bumi. Seperti yang ada di Jepang misalnya. Disini ilmu sosiologi dan antropologi menjadi alat bantu yang sangat penting. Sungguh sangat menarik mempelajari rute pencarian seseorang atau sekelompok orang untuk mendefinisikan siapa Tuhannya dan setelah itu mengikat diri mereka dengan aturan-aturan dan tata nilai sosial yang berporos pada penghayatan akan keberadaan sesuatu yang mereka posisikan sebagai Tuhan. Terbukti bahwa nalar dan imajinasi manusia yang masih fitrah selalu menuju pada kutub kebaikan yang sama yang sesuai dengan nilai-nilai Islam yang fitrah. Akan tetapi didalam Islam sendiri, cara mendapatkannya berbeda. Melalui ayat-ayat suci Al-Qur’an, Allah Swt memperkenalkan diri-Nya, menjelaskan sifat-sifat-Nya dan menegaskan aturan-aturan hidup yang menghidupkan kemanusiaan manusia selaku hamba-Nya. Sejumlah Nabi dan Rasul diutus oleh Allah untuk mencontohkan kepada manusia tentang bagaimana cara yang benar untuk menghamba kepada Allah. Oleh karenanya, sebagai muslim, kita harus bersyukur telah memperoleh hidayah dari Allah, sehingga kita tetap meyakini dan ridho Islam sebagai agama yang kita cintai.
Disisi lain, Allah Swt memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk berjalan dimuka bumi, melihat bagaimana akibat orang-orang yang dzalim. Dalam konteks semua itulah penghayatan alam semesta beserta segala isinya bisa berfungsi menjadi momentum perbaikan diri. Dalam Al-Qur’an, Allah juga banyak memberikan pertanyaan kepada hamba-Nya. ”Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan. Dan langit bagaimana ia ditinggikan? Gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan. Dan bumi bagaimana ia dihamparkan?” (QS. Al-Ghasyiyah: 17-20).
”Maka terangkanlah kepada ku tentang apa yang kamu tanam? Kamukah yang menumbuhkannya atau Kami yang menumbuhkannya?” (QS. Al-Waqi’ah: 63-64). ”Maka terangkanlah kepada ku tentang air yang engaku minum. Kamukah yang menurunkannya dari awan ataukah Kami yang menurunkannya?” (QS. Al-Waqi’ah: 68-69).
Pertanyaan-pertanyaan itu tidak untuk dijawab: ya atau tidak. Tetapi pertanyaan untuk menafikan jawaban selain ya. Allah lah yang menurunkan hujan, mengasinkan air laut dan menawarkan air tanah. Itu memang pertanyaan penafikan yang dalam bahasa arab dikenal dengan istifham inkari.
3. Pergantian waktu dan peristiwa
Bergesernya waktu seringkali melahirkan peristiwa baru. Berpindahnya masa tak jarang berdampak kepada munculnya kondisi yang berbeda. Pergantian waktu dan peristiwa adalah momentum. Mahalnya momentum dari pergantian waktu dan peristiwa bisa diresapi dari banyaknya sumpah-sumpah Allah atas waktu yang berbeda-beda. ”Demi fajar.” (QS. Al-Fajr:1) ”Demi waktu matahri sepenggalahan naik.” (QS. Adh-Dhuha:1) ”Demi malam apabila menutupi (cahaya siang). Dan siang apabila terang-benderang.” (QS. Al-Lail:1-2).
Rasulullah mengajarkan do’a-do’a tertentu untuk peristiwa-peristiwa tertentu. Saat mendengar petir, saat hujan turun dengan deras, saat mendengar kokok ayam, saat mendengar lolongan anjing, dan lain sebagainya. Do’a-do’a itu tak lain merupakan simpul pengikat antara seorang muslim dengan Rabb-nya. Dengan simpul itu ada sebuah alur perbaikan diri yang diawali dari kesadaran. Kesadaran bahwa dirinya terikat dengan Rabb-nya. Dan, itu artinya dia harus terikat dengan kebaikan agar tidak mendapat murka Allah. Karenanya, setiap muslim hendaknya pandai-pandai memanfaatkan perubahan waktu dan peristiwa yang mengiringi hidupnya, untuk dijadikan momentum perbaikan diri.
4. Melakukan muhasabah dan kontemplasi
Kontemplasi dengan melakukan muhasabah diri merupakan momentum perbaikan yang sangat berarti bagi setiap muslim. Muhasabah adalah menghitung kembali tindak-tanduk, dengan kalkulasi kejujuran yang tak menyisakan setitik pun arogansi. Betapa tidak mudahnya manusia untuk jujur kepada dirinya sendiri. Upaya perbaikan diri juga berkaitan erat dengan kebutuhan seorang muslim akan bekal dihari akhirnya kelak. Karenanya, fungsi muhasabah dan kontemplasi sangat penting. Begitulah Al-Qur’an mengajarkan kepada kita, ”Dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang hendak diperbuatnya untuk hari esok (akhirat).” (QS. Al-Hasyr:18).
Para sahabat dan ulama terdahulu (salafussholeh) mengajarkan kepada kita, betapa mereka sering membiasakan diri melakukan kontemplasi. Menghitung baik buruk perilakunya. Beberapa diantara mereka bahkan memberikan sanksi bagi dirinya sendiri atas kesalahan yang mereka temukan, menghukum diri mereka atas kekurangan yang mereka lakukan. Proses kontemplasi yang jujur memang melahirkan kematangan jiwa dan kejujuran ynag utuh. Saat itulah, orang tidak lagi takut kecuali kepada Tuhannya. Tidak merasa kuat kecuali bersama Rabb-nya.
Jangan pernah kalah
Suatu ketika, mungkin kita pernah berfikir betapa berat dan kerasnya perjalanan hidup ini. Saat hati kita tak mampu lagi menahan beban masalah. Saat kita merasa lunglai, lemah dan berat melangkahkan kaki, merasa tak kuat dan bingung menghadapi berbagai suasana hidup yang sulit dan berat. Ketika kita tak lagi merasa mampu berdiri menopang beban berat yang harus dipikul.
Tidak, itu bukan tanda-tanda kelemahan yang patut disesali. Sebab manusia memang diciptakan dalam keadaan serba lemah. Tapi Allah berjanji tidak akan menimpakan beban masalah kepada seseorang, di atas batas kemampuan orang tersebut untuk memikulnya.
Buya Hamka pernah mengatakan, tingkat cobaan iman itu tak ubahnya dengan anak tanggayang bertingkat-tingkat. Tiap satu anak tangga dinaiki, datang dari bawah satu pukulan hebat mengenai tubuh orang yang mendaki. Kalau tangan kuat bergantung, kalau kaki kuat berpijak, dan kalau akal pikiran tetap waspada, pukulan itu malah akan mendorong menaikkannya ke anak tangga yang lebih tinggi. Tapi kalau tangan lemah, kaki tak kuat, akal hilang, pikiran kusut, maka pukulan itu akan dapat merobohkan. Yang paling disayangkan, kalau robohnya tidak hanya satu atau dua anak tangga, tapi jatuh kebawah melewati sejumlah anak tangga yang cukup banyak. Bahkan karena lemahnya, seseorang sulit untuk bangkit kembali. Naudzubillah..
Dalam ungkapan yang lain, Imam Hasan Al Basri mengatakan,”Ketika badan sehat dan hati senang, semua orang mengaku beriman. Tetapi setelah datang cobaan barulah diketahui benar tidaknya pengakuan itu. Orang yang ingin permintaanya cepat terkabul hari ini dan tidak sabar menunggu, itulah orang yang lemah iman.
Mari kita renungkan..
Memang, ada orang pintar yang hidupnya miskin, orang bodoh yang hidupnya kaya raya, pembela kebenaran hidup terisolir, orang kafir memiliki harta benda, berbidang-bidang tanah, orang Islam menjadi penyapu jalanan.
Tapi coba renungkan lagi..
Nabiyullah Ya’qub harus kehilangan anaknya, Yusuf yang sangat dicintainya. Bertahun-tahun kemudian, hilang pula anak lainn yang bernama Bunyamin. Ketika anak yang kedua itu hilang, karena ditangkap oleh aparat kerajaan Mesir yang sebenarnya adalah Yusuf sendiri, Ya’qub tetap tidak putus asa berharap kepada Allah. Dia hanya menerima kenyataan itu dengan harapan yang lebih besar, ” Semoga Allah mengembalikan anak-anaku semuanya.” (QS. Yusuf: 83). Katanya lagi, ”Sabarlah yang lebih baik, dan kepada Allah lah tempat meminta tolong.” (QS. Yusuf: 8 ).
Bagaimana penderitaan Nabi yusuf sendiri. Ia tidak disukai oleh saudara-saudaranya sejak kecil. Bahkan dilempar kedalam sumur yang gelap gulita. Diperdagangkan sebagai budak belian. Lalu dijebloskan kedalam penjara meski tak pernah melakukan kesalahan sedikitpun.
Lihat juga Nabi Musa as. Ia dilahirkan dalam kondisi sangat memprihatinkan. Dimasukan kedalam peti oleh ibunya dan dihanyutkan ke aliran sungai Nil karena takut dibunuh oleh Fir’aun. Setelah besar, diangkat menjadi Nabi, dan sekian lama menumpang dirumah ayah angkatnya sendiri, Fir’aun. Setelah itu datang petunjuk dari Allah bahwa ayah angkatnya itu adalah musuhnya. Allah membebani kehidupan yang begitu berat kepada Nabi Musa. Dari miskin dan dari bangsa yang miskin, menempuh perjuangan menghadapi kekafiran yang sangat kuat dan besar.
Lihatlah Nabi Ibrahim. Cobaan apa yang melebihi cobaan yang menimpa kekasih Allah itu? Imannya diuji dengan ujian yang beratnya tidak ada tandingannya. Diperintahkan untuk menyembelih anak kandung sendiri.
Mana yang lebih besar penderitaan kita dengan penderitaan Nabi Adam? Bersenang-senang dalam surga bersama istrinya, lalu diperintahkan untuk keluar. Dimana kesulitan kita bila dibandingkan dengan Nabi Nuh, yang menyeru umat pada Islam, sementara anak dan istrinya tidak mau menjadi pengikutnya? Bahkan ketika Allah memerintahkan untuk naik perahu, anaknya tetap menolak dan akhirnya hanyut terbawa banjir. Isa Al Masih pun seperti itu, Rasulullah Muhammad lebih-lebih lagi.
Pernahkah mereka mengeluh? Tidak. Mereka yakin bahwa iman kepada Allah menghendaki perjuangan, pengorbanan sekaligus keteguhan hati. Mereka tidak terlalu menuntut kemenangan lahir, karena mereka selalu menang di alam bathin. Mereka memikul beban berat, menjadi rasul Allah, memikul perintah Allah, dan karena itulah mereka menmpuh kesulitan. Pertama, untuk membuktikan kecintaannya kepada Allah, dan kedua untuk menggempleng bathinnya agar menjadi semakin kokoh.
Disitulah tersimpan kekuatan iman. Bukan pada sujud dan ruku’. Sujud dan ruku’ hanya laksana dahan yang bergantung pada batang keimanan. Dahan akan kurus, daun akan kering bila batang tak memiliki akar yang kuat, kokok dan tak mudah goyah diterpa angin dan badai. Dahan, ranting dan daun sangat tergantung pada supli makanan dari batang dan akar. Batang dan akar itulah substansi iman.
Saudaraku..
Jangan pernah kalah oleh beratnya cobaan hidup. Tidak semua permintaan kita harus dikabulkan. Karena Allah yang lebih mengenal bathin kita dari pada kita sendiri. Imam Ibnul Qayyim memberi permisalan, bahwa seorang anak belum pantas diberi uang lebih bila akalnya belum kuat. Teka-teki hidup ini sangat banyak. Jangan menyangka Allah lemah menolong hamba-Nya.
Lalu, kapan dan bagaimana pertolongan dan bantuan Allah itu? Ibnu ’Athaillah memberikan pengarahan yang sangat bagus dalam hal ini. ”Tampilkan dengan sesungguhnya sifat-sifat kekuranganmu niscaya Allah menolongmu dengan sifat-sifat kesempurnaan-Nya. Bersungguh-sungguhlah dengan kehinaanmu, niscaya Ia menolongmu dengan kemuliaan-Nya. Bersungguh-sungguhlah dengan ketidakberdayaanmu, niscaya Ia menolongmu dengan kekuasaan-Nya. Bersungguh-sungguhlah dengan kelemahanmu, niscaya Ia menolongmu dengan kekuatan-Nya.”
Pertolongan, bantuan, dukungan dan kemenangan dari Allah itu pasti. ”Adalah hak bagi kami menolong orang-orang beriman.” (QS. Ar-Ruum:47). Sedetikpun Allah tidak pernah meninggalkan hamba-Nya yang beriman. Dan, jika Ia berkehendak, tidak ada yang dapat menghalangi turunnya pertolongan dan bantuan Allah. Masalahnya hanya ada pada proses turunnya pertolongan dan bantuan itu. Karenanya, sekali lagi, jangan pernah kalah oleh cobaan.
Wallahu’alam bishawab
Tidak, itu bukan tanda-tanda kelemahan yang patut disesali. Sebab manusia memang diciptakan dalam keadaan serba lemah. Tapi Allah berjanji tidak akan menimpakan beban masalah kepada seseorang, di atas batas kemampuan orang tersebut untuk memikulnya.
Buya Hamka pernah mengatakan, tingkat cobaan iman itu tak ubahnya dengan anak tanggayang bertingkat-tingkat. Tiap satu anak tangga dinaiki, datang dari bawah satu pukulan hebat mengenai tubuh orang yang mendaki. Kalau tangan kuat bergantung, kalau kaki kuat berpijak, dan kalau akal pikiran tetap waspada, pukulan itu malah akan mendorong menaikkannya ke anak tangga yang lebih tinggi. Tapi kalau tangan lemah, kaki tak kuat, akal hilang, pikiran kusut, maka pukulan itu akan dapat merobohkan. Yang paling disayangkan, kalau robohnya tidak hanya satu atau dua anak tangga, tapi jatuh kebawah melewati sejumlah anak tangga yang cukup banyak. Bahkan karena lemahnya, seseorang sulit untuk bangkit kembali. Naudzubillah..
Dalam ungkapan yang lain, Imam Hasan Al Basri mengatakan,”Ketika badan sehat dan hati senang, semua orang mengaku beriman. Tetapi setelah datang cobaan barulah diketahui benar tidaknya pengakuan itu. Orang yang ingin permintaanya cepat terkabul hari ini dan tidak sabar menunggu, itulah orang yang lemah iman.
Mari kita renungkan..
Memang, ada orang pintar yang hidupnya miskin, orang bodoh yang hidupnya kaya raya, pembela kebenaran hidup terisolir, orang kafir memiliki harta benda, berbidang-bidang tanah, orang Islam menjadi penyapu jalanan.
Tapi coba renungkan lagi..
Nabiyullah Ya’qub harus kehilangan anaknya, Yusuf yang sangat dicintainya. Bertahun-tahun kemudian, hilang pula anak lainn yang bernama Bunyamin. Ketika anak yang kedua itu hilang, karena ditangkap oleh aparat kerajaan Mesir yang sebenarnya adalah Yusuf sendiri, Ya’qub tetap tidak putus asa berharap kepada Allah. Dia hanya menerima kenyataan itu dengan harapan yang lebih besar, ” Semoga Allah mengembalikan anak-anaku semuanya.” (QS. Yusuf: 83). Katanya lagi, ”Sabarlah yang lebih baik, dan kepada Allah lah tempat meminta tolong.” (QS. Yusuf: 8 ).
Bagaimana penderitaan Nabi yusuf sendiri. Ia tidak disukai oleh saudara-saudaranya sejak kecil. Bahkan dilempar kedalam sumur yang gelap gulita. Diperdagangkan sebagai budak belian. Lalu dijebloskan kedalam penjara meski tak pernah melakukan kesalahan sedikitpun.
Lihat juga Nabi Musa as. Ia dilahirkan dalam kondisi sangat memprihatinkan. Dimasukan kedalam peti oleh ibunya dan dihanyutkan ke aliran sungai Nil karena takut dibunuh oleh Fir’aun. Setelah besar, diangkat menjadi Nabi, dan sekian lama menumpang dirumah ayah angkatnya sendiri, Fir’aun. Setelah itu datang petunjuk dari Allah bahwa ayah angkatnya itu adalah musuhnya. Allah membebani kehidupan yang begitu berat kepada Nabi Musa. Dari miskin dan dari bangsa yang miskin, menempuh perjuangan menghadapi kekafiran yang sangat kuat dan besar.
Lihatlah Nabi Ibrahim. Cobaan apa yang melebihi cobaan yang menimpa kekasih Allah itu? Imannya diuji dengan ujian yang beratnya tidak ada tandingannya. Diperintahkan untuk menyembelih anak kandung sendiri.
Mana yang lebih besar penderitaan kita dengan penderitaan Nabi Adam? Bersenang-senang dalam surga bersama istrinya, lalu diperintahkan untuk keluar. Dimana kesulitan kita bila dibandingkan dengan Nabi Nuh, yang menyeru umat pada Islam, sementara anak dan istrinya tidak mau menjadi pengikutnya? Bahkan ketika Allah memerintahkan untuk naik perahu, anaknya tetap menolak dan akhirnya hanyut terbawa banjir. Isa Al Masih pun seperti itu, Rasulullah Muhammad lebih-lebih lagi.
Pernahkah mereka mengeluh? Tidak. Mereka yakin bahwa iman kepada Allah menghendaki perjuangan, pengorbanan sekaligus keteguhan hati. Mereka tidak terlalu menuntut kemenangan lahir, karena mereka selalu menang di alam bathin. Mereka memikul beban berat, menjadi rasul Allah, memikul perintah Allah, dan karena itulah mereka menmpuh kesulitan. Pertama, untuk membuktikan kecintaannya kepada Allah, dan kedua untuk menggempleng bathinnya agar menjadi semakin kokoh.
Disitulah tersimpan kekuatan iman. Bukan pada sujud dan ruku’. Sujud dan ruku’ hanya laksana dahan yang bergantung pada batang keimanan. Dahan akan kurus, daun akan kering bila batang tak memiliki akar yang kuat, kokok dan tak mudah goyah diterpa angin dan badai. Dahan, ranting dan daun sangat tergantung pada supli makanan dari batang dan akar. Batang dan akar itulah substansi iman.
Saudaraku..
Jangan pernah kalah oleh beratnya cobaan hidup. Tidak semua permintaan kita harus dikabulkan. Karena Allah yang lebih mengenal bathin kita dari pada kita sendiri. Imam Ibnul Qayyim memberi permisalan, bahwa seorang anak belum pantas diberi uang lebih bila akalnya belum kuat. Teka-teki hidup ini sangat banyak. Jangan menyangka Allah lemah menolong hamba-Nya.
Lalu, kapan dan bagaimana pertolongan dan bantuan Allah itu? Ibnu ’Athaillah memberikan pengarahan yang sangat bagus dalam hal ini. ”Tampilkan dengan sesungguhnya sifat-sifat kekuranganmu niscaya Allah menolongmu dengan sifat-sifat kesempurnaan-Nya. Bersungguh-sungguhlah dengan kehinaanmu, niscaya Ia menolongmu dengan kemuliaan-Nya. Bersungguh-sungguhlah dengan ketidakberdayaanmu, niscaya Ia menolongmu dengan kekuasaan-Nya. Bersungguh-sungguhlah dengan kelemahanmu, niscaya Ia menolongmu dengan kekuatan-Nya.”
Pertolongan, bantuan, dukungan dan kemenangan dari Allah itu pasti. ”Adalah hak bagi kami menolong orang-orang beriman.” (QS. Ar-Ruum:47). Sedetikpun Allah tidak pernah meninggalkan hamba-Nya yang beriman. Dan, jika Ia berkehendak, tidak ada yang dapat menghalangi turunnya pertolongan dan bantuan Allah. Masalahnya hanya ada pada proses turunnya pertolongan dan bantuan itu. Karenanya, sekali lagi, jangan pernah kalah oleh cobaan.
Wallahu’alam bishawab
Seven habits
Struktur sosial ekonomi masyarakat kita berbentuk piramida, yang didominasi oleh kelas bawah, diikuti oleh kelas menengah dan kelas atas. Bentuk struktur sosial yang kita inginkan adalah belah ketupat yang didominasi oleh kelas menengah, dengan sedikit kelas atas dan kelas bawah di kedua ujungnya. Transformasi struktur sosial ekonomi dari berbentuk piramida ke belah ketupat dihadapkan dengan kendala pola pikir determinisme yang mendominasi kalangan menengah ke bawah. Dua pola pikir determinisme yang banyak dianut adalah:
Pertama, "genetic determinism", yang pada dasarnya mengatakan bahwa kita menjadi memble karena kita mewarisi gen-gen ke-memble-an di dalam chromosom sel-sel tubuh kita dari nenek moyang kita secara genetis (faktor keturunan);
Kedua, "environmental determinism", yang mengatakan bahwa kita menjadi memble karena faktor lingkungan. Kedua aliran determinisme sering dijadikan excuse untuk menjelaskan posisi kita yang berada di bawah. Kalau ditelusuri, pola pikir determinisme berasal dari pakar perilaku Ivan Pavlov.
Adalah Ivan Pavlov yang mula-mula mengemukakan teori mengenai terdapatnya hubungan langsung antara Stimulus dan Respons. Melalui percobaannya dengan anjing yang dikondisikan secara berulang-ulang setiap kali anjing disodori sekerat daging sambil dibunyikan bel (stimulus), lidah anjing dijulurkan dan air liurnya keluar (respons). Setelah terkondisi, anjing tetap saja mengeluarkan air liurnya ketika bel dibunyikan walaupun tidak disertai dengan sekerat daging. Nah, Ivan berpendapat bahwa manusia tidak ubahnya seperti anjing yang cenderung memberikan respons tertentu untuk setiap stimulus yang datang. Itulah sebabnya anak-anak sekolah (mahasiswa) pelaku tawuran kalau ditanya mengapa mereka tawuran pada umumnya menjawab bahwa mereka merasa tersinggung (respons) atas perbuatan atau perkataan yang dilakukan atau diucapkan oleh pihak lawan (stimulus).
Victor Frankl dalam bukunya "Men Search for Meaning" membantah teori Pavlov dengan mengatakan bahwa manusia sangat berbeda dengan anjing. Bagi manusia, antara stimulus dan respons terdapat "freedom to choose" (kemerdekaan untuk memilih). Kita memiliki kebebasan untuk memilih respons terhadap setiap stimulus yang datang, karena Allah Sang Pencipta melengkapi manusia dengan Furqon (berupa Al Qur’an yang membedakan antara respons yang haq dan yang batil), "independent will" (kehendak merdeka), "self awareness (kesadaran diri), "conscience (kata hati), dan imagination (imajinasi).
Respons yang kita pilih tergantung pada makna yang kita asosiasikan pada stimulus yang datang. Perbedaan antara orang-orang yang berada di kelas menengah ke bawah dan mereka yang berada di kelas menengah ke atas yang terpenting adalah dalam kebiasaannya. Benar bahwa orang-orang yang termasuk kelas menengah ke atas adalah orang-orang yang beruntung, karena keberuntungan diperoleh ketika persiapan bertemu dengan kesempatan.
Disadari atau tidak, yang dinamakan kesempatan atau peluang selalu berada di sekeliling kita setiap saat. Hanya mereka yang telah dan selalu mempersiapkan diri sajalah yang dapat mengenali dan menangkap setiap peluang yang datang. Bagi mereka yang tidak mempersiapkan diri, boro-boro menangkap peluang, bahkan peluang yang nyata-nyata disodorkan ke depan hidungnya pun disia-siakan karena tidak menyadari bahwa yang ada di depan hidungnya itu adalah peluang.
Presiden Bill Clinton menilai bahwa daya saing bangsa Amerika mulai tergeser oleh bangsa Jepang dan negara-negara industri baru di Asia. Salah satu cara untuk mengembalikan keunggulan bangsa Amerika menurut Presiden Clinton adalah dengan menerapkan "The Seven Habits of Highly Effective People" (Tujuh Kebiasaan Manusia Yang Sangat Efektif) yang ditulis oleh Dr.Steven R. Covey. Kalau bangsa Amerika saja yang sudah maju mau belajar dari Steven R. Covey, pasti ada hikmahnya bila kita juga mau mempelajari 7 kebiasaan Covey. Bukankah Rasulullah Saw pernah bersabda: "Hikmah itu milik orang Islam, dimanapun kamu mendapatkannya ambillah". Apakah kebiasaan itu ? Kebiasaan adalah pertemuan antara "knowledge" (pengetahuan), "skill" (keterampilan) dan "desire" (keinginan).
Menghentikan kebiasaan merokok misalnya, tidak cukup dengan memiliki pengetahuan tentang terdapatnya hubungan negatif antara merokok dengan kesehatan dan mengetahui cara berhenti merokok. Kalau hanya "knowledge" dan "skill" yang diperlukan, tentu tidak ada lagi dokter yang merokok. Mengubah kebiasaan mensyaratkan ketiganya. Percaya atau tidak, faktor yang ketiga yaitu keinginan, sangat dipengaruhi oleh makna yang kita asosiasikan pada kebiasaan tersebut. Perokok misalnya mengasosiasikan merokok dengan kenikmatan, sedangkan bukan perokok mengasosiasikan merokok dengan penderitaan.
Berikut ini adalah 7 kebiasaan manusia yang sangat efektif :
Kebiasaan Pertama, Proaktif.
Proaktif bukan sekedar berinisiatif. Proaktif berarti suatu keyakinan bahwa apa pun yang kita peroleh dalam hidup merupakan akibat pilihan respons kita sendiri. Kebiasaan pertama merupakan kesadaran bahwa antara stimulus dan respons terdapat "freedom to choose". Allah berfirman dalam Surat Ar-Rad 13:11 "Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri". Kebanyakan orang berpikir bahwa ketidakbahagiaan mereka disebabkan karena apa yang terjadi pada diri mereka. Padahal yang benar adalah karena cara mereka memberi makna atas apa yang terjadi. Selalu ada pilihan untuk bereaksi secara positif terhadap situasi yang bagaimanapun negatifnya. Kemampuan untuk memilih respons seperti yang dikemukakan di atas, merupakan fungsi dari kemampuan kita memanfaatkan karunia Allah berupa Furqon (berupa Al Qur’an yang membedakan antara respons yang haq dan yang batil), "independent will" (kehendak merdeka), "self awareness" (kesadaran diri), conscience (kata hati) dan "imagination" (imajinasi). Dengan kata lain, kebiasaan proaktif menyatakan bahwa kitalah pemrogram kehidupan kita sendiri.
Kebiasaan Kedua, Mulai Dengan Akhir Dalam Pikiran.
Kebiasaan kedua adalah kebiasaan memiliki visi, misi dan tujuan. Kebiasaan ini menunjukkan arah dan cara menjalani hidup serta menentukan hal-hal yang penting dalam hidup. Islam mengajarkan pentingnya goal setting ketika Rasulullah Saw menyatakan setiap perbuatan tergantung niatnya. Kebiasaan mulai dengan akhir dalam pikiran mengajarkan agar kita menuliskan programnya.
Kebiasaan Ketiga. Dahulukan Yang Harus Didahulukan.
Mendahulukan yang utama merupakan kebiasaan yang menuntut integritas, disiplin dan komitmen. Kebiasaan ketiga merupakan perwujudan dari kemerdekaan memilih hanya melakukan hal-hal penting yang telah ditentukan pada kebiasaan kedua. Allah Swt berfirman dalam Surat Al Mu’minun 23:1-3 "Sungguh berhasil orang-orang mukmin, yaitu orang-orang yang khusyu’ dalam sholat mereka dan orang-orang yang berpaling dari perbuatan dan percakapan yang sia-sia", dan dalam surat Al-’Ashr 103:1-3 "Demi waktu, sesungguhnya manusia dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh, saling berwasiat dengan kebenaran dan saling berwasiat dengan kesabaran".
Juga dalam Surat Al Insyirah 94:7-8 "Maka apabila engkau telah selesai (dari suatu urusan), maka kerjakanlah (urusan yang lain) dengan sungguh-sungguh dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap". Kebiasaan ketiga menekankan pentingnya memanfaatkan waktu.
Kebiasaan Keempat, Berpikir Menang-Menang.
Berpikir menang-menang berasal dari karakter yang dicirikan dengan kejujuran (menyesuaikan kata dengan perbuatan), integritas (menyesuaikan perbuatan dengan kata), kematangan (keseimbangan antara ketegasan dan toleransi), dan mentalitas kelimpahan (keyakinan bahwa karunia Allah tersedia tanpa batas bagi siapapun yang mengikuti sunnatullah atau "causality law").
Kebiasaan Kelima, Berusaha Mengerti Lebih Dulu - Baru (minta) Dimengerti.
Kebiasaan kelima menunjukkan bahwa "the secret of living is giving" (rahasia kehidupan adalah memberi). Rasulullah Saw bersabda bahwa tangan di atas lebih mulia daripada tangan yang di bawah. Petani yang berhasil mengetahui rahasia hidup tersebut, sehingga ketika ia bersawah ia tidak meminta sawah agar memberinya panenan, tetapi ia terus memberi dengan menyemaikan benih, menanam, menyirami, memupuk, menjaga tanaman padi dari serangan hama dan penyakit sampai tiba saat memanen. Dengan terus memberi, petani mendapat balasan yang berlipat ganda, dari satu butir berkembang menjadi tujuh tangkai dan masing-masing tangkai menghasilkan seratus butir, berarti 700 kali lipat.
Allah berfirman dalam Surat Al Zalzalah 99:7-8 "Barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat balasannya dan barangsiapa mengerjakan keburukan seberat zarrah, dia akan melihat balasannya", dan dalam Surat Ar-Rahman 55:60-61 "Tiadalah balasan kebaikan, melainkan kebaikan pula, maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan".
Juga dalam Surat Al Baqarah 2:261 "Perumpamaan orang yang memberi di jalan Allah, adalah seumpama sebuah biji yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada tiap tangkai itu berisi seratus biji, dan Allah melipatgandakan bagi siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.
Kebiasaan Keenam, Wujudkan Sinergi.
Bersinergi berarti keseluruhan lebih bernilai daripada jumlah bagian-bagiannya. Mengenai pentingnya bersinergi, Khalifah Umar bin Khattab pernah berujar bahwa kejahatan yang terorganisir dapat mengalahkan kebaikan yang tidak terorganisir. Yang harus diingat adalah agar dapat bersinergi setiap anggota memiliki lima kebiasaan di atas yaitu proaktif, mulai dengan akhir dalam pikiran, dahulukan yang utama, berpikir menang-menang dan berusaha mengerti lebih dulu baru dimengerti. Allah Swt.
mengingatkan agar kita hanya bersinergi dalam melakukan kebaikan bukan dalam berbuat dosa dan permusuhan (Al Maidah 5:2).
Kebiasaan Ketujuh, Mengasah Gergaji.
Rasulullah mengajarkan agar kita terus mengasah gergaji fisik, mental, sosial, emosional, dan spiritual kita ketika beliau bersabda: "Orang Islam adalah orang yang begitu sibuk memperbaiki diri, sehingga tidak memiliki waktu tersisa untuk mencari-cari aib orang lain. Orang Islam adalah orang yang hari ini lebih baik daripada kemarin dan hari esoknya lebih baik dari hari ini. Amal perbuatan yang paling disukai Allah adalah amal yang dilakukan terus menerus walaupun sedikit."
Pertama, "genetic determinism", yang pada dasarnya mengatakan bahwa kita menjadi memble karena kita mewarisi gen-gen ke-memble-an di dalam chromosom sel-sel tubuh kita dari nenek moyang kita secara genetis (faktor keturunan);
Kedua, "environmental determinism", yang mengatakan bahwa kita menjadi memble karena faktor lingkungan. Kedua aliran determinisme sering dijadikan excuse untuk menjelaskan posisi kita yang berada di bawah. Kalau ditelusuri, pola pikir determinisme berasal dari pakar perilaku Ivan Pavlov.
Adalah Ivan Pavlov yang mula-mula mengemukakan teori mengenai terdapatnya hubungan langsung antara Stimulus dan Respons. Melalui percobaannya dengan anjing yang dikondisikan secara berulang-ulang setiap kali anjing disodori sekerat daging sambil dibunyikan bel (stimulus), lidah anjing dijulurkan dan air liurnya keluar (respons). Setelah terkondisi, anjing tetap saja mengeluarkan air liurnya ketika bel dibunyikan walaupun tidak disertai dengan sekerat daging. Nah, Ivan berpendapat bahwa manusia tidak ubahnya seperti anjing yang cenderung memberikan respons tertentu untuk setiap stimulus yang datang. Itulah sebabnya anak-anak sekolah (mahasiswa) pelaku tawuran kalau ditanya mengapa mereka tawuran pada umumnya menjawab bahwa mereka merasa tersinggung (respons) atas perbuatan atau perkataan yang dilakukan atau diucapkan oleh pihak lawan (stimulus).
Victor Frankl dalam bukunya "Men Search for Meaning" membantah teori Pavlov dengan mengatakan bahwa manusia sangat berbeda dengan anjing. Bagi manusia, antara stimulus dan respons terdapat "freedom to choose" (kemerdekaan untuk memilih). Kita memiliki kebebasan untuk memilih respons terhadap setiap stimulus yang datang, karena Allah Sang Pencipta melengkapi manusia dengan Furqon (berupa Al Qur’an yang membedakan antara respons yang haq dan yang batil), "independent will" (kehendak merdeka), "self awareness (kesadaran diri), "conscience (kata hati), dan imagination (imajinasi).
Respons yang kita pilih tergantung pada makna yang kita asosiasikan pada stimulus yang datang. Perbedaan antara orang-orang yang berada di kelas menengah ke bawah dan mereka yang berada di kelas menengah ke atas yang terpenting adalah dalam kebiasaannya. Benar bahwa orang-orang yang termasuk kelas menengah ke atas adalah orang-orang yang beruntung, karena keberuntungan diperoleh ketika persiapan bertemu dengan kesempatan.
Disadari atau tidak, yang dinamakan kesempatan atau peluang selalu berada di sekeliling kita setiap saat. Hanya mereka yang telah dan selalu mempersiapkan diri sajalah yang dapat mengenali dan menangkap setiap peluang yang datang. Bagi mereka yang tidak mempersiapkan diri, boro-boro menangkap peluang, bahkan peluang yang nyata-nyata disodorkan ke depan hidungnya pun disia-siakan karena tidak menyadari bahwa yang ada di depan hidungnya itu adalah peluang.
Presiden Bill Clinton menilai bahwa daya saing bangsa Amerika mulai tergeser oleh bangsa Jepang dan negara-negara industri baru di Asia. Salah satu cara untuk mengembalikan keunggulan bangsa Amerika menurut Presiden Clinton adalah dengan menerapkan "The Seven Habits of Highly Effective People" (Tujuh Kebiasaan Manusia Yang Sangat Efektif) yang ditulis oleh Dr.Steven R. Covey. Kalau bangsa Amerika saja yang sudah maju mau belajar dari Steven R. Covey, pasti ada hikmahnya bila kita juga mau mempelajari 7 kebiasaan Covey. Bukankah Rasulullah Saw pernah bersabda: "Hikmah itu milik orang Islam, dimanapun kamu mendapatkannya ambillah". Apakah kebiasaan itu ? Kebiasaan adalah pertemuan antara "knowledge" (pengetahuan), "skill" (keterampilan) dan "desire" (keinginan).
Menghentikan kebiasaan merokok misalnya, tidak cukup dengan memiliki pengetahuan tentang terdapatnya hubungan negatif antara merokok dengan kesehatan dan mengetahui cara berhenti merokok. Kalau hanya "knowledge" dan "skill" yang diperlukan, tentu tidak ada lagi dokter yang merokok. Mengubah kebiasaan mensyaratkan ketiganya. Percaya atau tidak, faktor yang ketiga yaitu keinginan, sangat dipengaruhi oleh makna yang kita asosiasikan pada kebiasaan tersebut. Perokok misalnya mengasosiasikan merokok dengan kenikmatan, sedangkan bukan perokok mengasosiasikan merokok dengan penderitaan.
Berikut ini adalah 7 kebiasaan manusia yang sangat efektif :
Kebiasaan Pertama, Proaktif.
Proaktif bukan sekedar berinisiatif. Proaktif berarti suatu keyakinan bahwa apa pun yang kita peroleh dalam hidup merupakan akibat pilihan respons kita sendiri. Kebiasaan pertama merupakan kesadaran bahwa antara stimulus dan respons terdapat "freedom to choose". Allah berfirman dalam Surat Ar-Rad 13:11 "Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri". Kebanyakan orang berpikir bahwa ketidakbahagiaan mereka disebabkan karena apa yang terjadi pada diri mereka. Padahal yang benar adalah karena cara mereka memberi makna atas apa yang terjadi. Selalu ada pilihan untuk bereaksi secara positif terhadap situasi yang bagaimanapun negatifnya. Kemampuan untuk memilih respons seperti yang dikemukakan di atas, merupakan fungsi dari kemampuan kita memanfaatkan karunia Allah berupa Furqon (berupa Al Qur’an yang membedakan antara respons yang haq dan yang batil), "independent will" (kehendak merdeka), "self awareness" (kesadaran diri), conscience (kata hati) dan "imagination" (imajinasi). Dengan kata lain, kebiasaan proaktif menyatakan bahwa kitalah pemrogram kehidupan kita sendiri.
Kebiasaan Kedua, Mulai Dengan Akhir Dalam Pikiran.
Kebiasaan kedua adalah kebiasaan memiliki visi, misi dan tujuan. Kebiasaan ini menunjukkan arah dan cara menjalani hidup serta menentukan hal-hal yang penting dalam hidup. Islam mengajarkan pentingnya goal setting ketika Rasulullah Saw menyatakan setiap perbuatan tergantung niatnya. Kebiasaan mulai dengan akhir dalam pikiran mengajarkan agar kita menuliskan programnya.
Kebiasaan Ketiga. Dahulukan Yang Harus Didahulukan.
Mendahulukan yang utama merupakan kebiasaan yang menuntut integritas, disiplin dan komitmen. Kebiasaan ketiga merupakan perwujudan dari kemerdekaan memilih hanya melakukan hal-hal penting yang telah ditentukan pada kebiasaan kedua. Allah Swt berfirman dalam Surat Al Mu’minun 23:1-3 "Sungguh berhasil orang-orang mukmin, yaitu orang-orang yang khusyu’ dalam sholat mereka dan orang-orang yang berpaling dari perbuatan dan percakapan yang sia-sia", dan dalam surat Al-’Ashr 103:1-3 "Demi waktu, sesungguhnya manusia dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh, saling berwasiat dengan kebenaran dan saling berwasiat dengan kesabaran".
Juga dalam Surat Al Insyirah 94:7-8 "Maka apabila engkau telah selesai (dari suatu urusan), maka kerjakanlah (urusan yang lain) dengan sungguh-sungguh dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap". Kebiasaan ketiga menekankan pentingnya memanfaatkan waktu.
Kebiasaan Keempat, Berpikir Menang-Menang.
Berpikir menang-menang berasal dari karakter yang dicirikan dengan kejujuran (menyesuaikan kata dengan perbuatan), integritas (menyesuaikan perbuatan dengan kata), kematangan (keseimbangan antara ketegasan dan toleransi), dan mentalitas kelimpahan (keyakinan bahwa karunia Allah tersedia tanpa batas bagi siapapun yang mengikuti sunnatullah atau "causality law").
Kebiasaan Kelima, Berusaha Mengerti Lebih Dulu - Baru (minta) Dimengerti.
Kebiasaan kelima menunjukkan bahwa "the secret of living is giving" (rahasia kehidupan adalah memberi). Rasulullah Saw bersabda bahwa tangan di atas lebih mulia daripada tangan yang di bawah. Petani yang berhasil mengetahui rahasia hidup tersebut, sehingga ketika ia bersawah ia tidak meminta sawah agar memberinya panenan, tetapi ia terus memberi dengan menyemaikan benih, menanam, menyirami, memupuk, menjaga tanaman padi dari serangan hama dan penyakit sampai tiba saat memanen. Dengan terus memberi, petani mendapat balasan yang berlipat ganda, dari satu butir berkembang menjadi tujuh tangkai dan masing-masing tangkai menghasilkan seratus butir, berarti 700 kali lipat.
Allah berfirman dalam Surat Al Zalzalah 99:7-8 "Barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat balasannya dan barangsiapa mengerjakan keburukan seberat zarrah, dia akan melihat balasannya", dan dalam Surat Ar-Rahman 55:60-61 "Tiadalah balasan kebaikan, melainkan kebaikan pula, maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan".
Juga dalam Surat Al Baqarah 2:261 "Perumpamaan orang yang memberi di jalan Allah, adalah seumpama sebuah biji yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada tiap tangkai itu berisi seratus biji, dan Allah melipatgandakan bagi siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.
Kebiasaan Keenam, Wujudkan Sinergi.
Bersinergi berarti keseluruhan lebih bernilai daripada jumlah bagian-bagiannya. Mengenai pentingnya bersinergi, Khalifah Umar bin Khattab pernah berujar bahwa kejahatan yang terorganisir dapat mengalahkan kebaikan yang tidak terorganisir. Yang harus diingat adalah agar dapat bersinergi setiap anggota memiliki lima kebiasaan di atas yaitu proaktif, mulai dengan akhir dalam pikiran, dahulukan yang utama, berpikir menang-menang dan berusaha mengerti lebih dulu baru dimengerti. Allah Swt.
mengingatkan agar kita hanya bersinergi dalam melakukan kebaikan bukan dalam berbuat dosa dan permusuhan (Al Maidah 5:2).
Kebiasaan Ketujuh, Mengasah Gergaji.
Rasulullah mengajarkan agar kita terus mengasah gergaji fisik, mental, sosial, emosional, dan spiritual kita ketika beliau bersabda: "Orang Islam adalah orang yang begitu sibuk memperbaiki diri, sehingga tidak memiliki waktu tersisa untuk mencari-cari aib orang lain. Orang Islam adalah orang yang hari ini lebih baik daripada kemarin dan hari esoknya lebih baik dari hari ini. Amal perbuatan yang paling disukai Allah adalah amal yang dilakukan terus menerus walaupun sedikit."
Cermin nasehat
Perilaku ‘bercermin dan menjadi cermin’ memiliki pengaruh yang besar dalam pembentukan kepribadian seorang mukmin. Saat ‘bercermin’ ia menerima pelajaran berharga dari saudaranya, dan kala ‘menjadi cermin’ sesungguhnya ia telah berbuat baik pada sudaranya. Jika perilaku ini dibudayakan dalam kehidupan sehari-hari, niscaya akan memberikan kontribusi besar bagi pembentukan karakter umat pilihan.
Namun sayang, adakalanya kita tak suka bercermin. Kita menjadi orang yang tidak peduli dengan penampilan diri. Kalau kebetulan menemukan cermin yang memantulkan bayangan dirinya sendiri, kita tak ambil pusing dan tak mau bereaksi. Kalau pun ada, cenderung naïf dan apologis. “Ah cerminnya yang jelek dan kotor, ngga bisa memperlihatkan diri kita yang sebenarnya”.
Bercermin enggan, menjadi cermin buat orang lain pun tak mau. Kita kadang tak suka memantulkan diri orang lain karena berbagai pertimbangan yang picik. Adakalanya kita takut dicela atau takut mendapat reaksi yang tidak baik bila menampilkan gambar yang tidak sesuai dengan selera orang tersebut. Tak jarang rasa takut yang tidak beralasan ini membuat kita menjadi cermin ’nenek sihir’ yang hanya menampilkan kebohongan, menyanjung sesuatu yang kosong.
Seharusnya, sebagai cermin, kita harus berlaku jujur dan apa adanya. Kita tidak perlu merasa takut, sungkan, malu, atau enggan menyampaikan sesuatu yang bernilai nasehat bagi saudara kita. Pada saat yang lain, kita pun mengharapkan perlakuan serupa dari sudara kita.
Inti dari filosofi cermin adalah kesediaan seorang mukmin untuk memberi dan menerima nasehat. Salah satu sifat keshalehan mukmin adalah kesadaran dan kepekaan memberikan nasehat kepada saudaranya, dan disaat lain, ia pun bersedia menerima nasehat.
Nasehat adalah alat utama dari umpan balik yang sejati dan jujur dalam masyarakat Islam. Bukankah Rasulullah Saw menyatakan agama sebagai praktek memberi nasehat kepada umat Islam dan menjadikannya esensi syariah lewat sabdanya: ”Addiinu nashihah (agama itu adalah nasehat)”. Nabi Saw pun pernah berwasiat kepada Jabir bin Abdullah untuk berkomitmen dengan tiga perkara yaitu, mendirikan sholat, membayar zakat dan memberikan nasehat kepada umat Islam, termasuk para pemimpinnya tanpa pandang bulu.
Para sahabat dimasa Rasul amat memahami pentingnya nasehat dalam kehidupan. Mereka menjadikan nasehat sebagai budaya. Seorang sahabat mulia, Umar bin Khatab, pernah melontarkan sebuah pernyataan yang sangat menyentuh tentang arti sebuah nasehat. Ia berkata, ”Semoga Allah Swt merahmati seseorang yang menghadiahkan kepadaku aib-aib (kekurangan-kekurangan-ku).
Dan sesungguhnya pun, memberi nasehat adalah misi mulia yang dilakukan oleh para utusan Allah Swt. Sebagaimana tertulis dalam Al-Qur’an, ”Aku (Nabi Hud) menyampaikan amanat-amanat Rabbku kepadamu dan aku hanyalah pemberi nasehat yang terpercaya bagimu.” (QS. Al-A’raf: 68)
”Sesungguhnya aku (Nabi Syu’aib) telah menyampaikan kepadamu amanat-amanat Rabbku dan aku telah memberi nasehat kepadamu. Maka bagaimana aku akan bersedih hati terhadap orang-orang yang kafir?” (QS. Al-A’raf: 93)
Namun sayang, adakalanya kita tak suka bercermin. Kita menjadi orang yang tidak peduli dengan penampilan diri. Kalau kebetulan menemukan cermin yang memantulkan bayangan dirinya sendiri, kita tak ambil pusing dan tak mau bereaksi. Kalau pun ada, cenderung naïf dan apologis. “Ah cerminnya yang jelek dan kotor, ngga bisa memperlihatkan diri kita yang sebenarnya”.
Bercermin enggan, menjadi cermin buat orang lain pun tak mau. Kita kadang tak suka memantulkan diri orang lain karena berbagai pertimbangan yang picik. Adakalanya kita takut dicela atau takut mendapat reaksi yang tidak baik bila menampilkan gambar yang tidak sesuai dengan selera orang tersebut. Tak jarang rasa takut yang tidak beralasan ini membuat kita menjadi cermin ’nenek sihir’ yang hanya menampilkan kebohongan, menyanjung sesuatu yang kosong.
Seharusnya, sebagai cermin, kita harus berlaku jujur dan apa adanya. Kita tidak perlu merasa takut, sungkan, malu, atau enggan menyampaikan sesuatu yang bernilai nasehat bagi saudara kita. Pada saat yang lain, kita pun mengharapkan perlakuan serupa dari sudara kita.
Inti dari filosofi cermin adalah kesediaan seorang mukmin untuk memberi dan menerima nasehat. Salah satu sifat keshalehan mukmin adalah kesadaran dan kepekaan memberikan nasehat kepada saudaranya, dan disaat lain, ia pun bersedia menerima nasehat.
Nasehat adalah alat utama dari umpan balik yang sejati dan jujur dalam masyarakat Islam. Bukankah Rasulullah Saw menyatakan agama sebagai praktek memberi nasehat kepada umat Islam dan menjadikannya esensi syariah lewat sabdanya: ”Addiinu nashihah (agama itu adalah nasehat)”. Nabi Saw pun pernah berwasiat kepada Jabir bin Abdullah untuk berkomitmen dengan tiga perkara yaitu, mendirikan sholat, membayar zakat dan memberikan nasehat kepada umat Islam, termasuk para pemimpinnya tanpa pandang bulu.
Para sahabat dimasa Rasul amat memahami pentingnya nasehat dalam kehidupan. Mereka menjadikan nasehat sebagai budaya. Seorang sahabat mulia, Umar bin Khatab, pernah melontarkan sebuah pernyataan yang sangat menyentuh tentang arti sebuah nasehat. Ia berkata, ”Semoga Allah Swt merahmati seseorang yang menghadiahkan kepadaku aib-aib (kekurangan-kekurangan-ku).
Dan sesungguhnya pun, memberi nasehat adalah misi mulia yang dilakukan oleh para utusan Allah Swt. Sebagaimana tertulis dalam Al-Qur’an, ”Aku (Nabi Hud) menyampaikan amanat-amanat Rabbku kepadamu dan aku hanyalah pemberi nasehat yang terpercaya bagimu.” (QS. Al-A’raf: 68)
”Sesungguhnya aku (Nabi Syu’aib) telah menyampaikan kepadamu amanat-amanat Rabbku dan aku telah memberi nasehat kepadamu. Maka bagaimana aku akan bersedih hati terhadap orang-orang yang kafir?” (QS. Al-A’raf: 93)
Nasehat: ukuran cinta
Apakah anda mencintai saudara anda? Jika ya, maka ukurannya adalah seberapa banyak nasehat ikhlas dan jujur telah anda berikan kepadanya. Sebab menyayangi orang lain berarti menerima tanggung jawab untuk menunjukkan kesalahan mereka. Jika tidak, kecintaan kita hanya di mulut saja, bukan perasaan yang hangat dan sepenuh hati. Benarkah kita mencintai saudara kita jika kita membiarkannya tampil di keramaian dengan wajah yang coreng moreng atau melangkah menuju batu yang akan menggelincirkannya sementara ia tidak menyadarinya. Dalam sebuah hadits dikatakan, ”Tidak beriman seseorang sampai ia menyayangi saudaranya sebagaimana ia menyayangi dirinya sendiri.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Demikian pula, kita harus melatih mental dan perasaaan, bahwa menerima nasehat adalah menerima uluran cinta kasih dari saudara kita. Semakin banyak –secara proporsional- kita mendapatkan nasehat, apalagi dari orang-orang terdekat, maka itu artinya mereka semakin menyayangi kita.
Tidak sulit menerima logika di atas jika kita memahami bahwa sesungguhnya nasehat itu adalah umpan balik atas sikap, perilaku atau tindakan yang telah kita lakukan. Sebagai manusia yang memiliki kemampuan terbatas, kita sulit meneliti dan memeriksa diri kita saat melakukan perbuatan. Seringkali kita tidak tahu dan tidak sadar bahwa telah terjadi kesalahan atau kelalaian didalamnya yang bisa saja menimbulkan hal-hal yang tidak menyenangkan bagi orang lain. Selain itu, sesungguhnya dalam diri kita ada dinamika kepribadian dan fluktuasi keimanan seiring dengan kompleksitas ujian hidup yang mungkin saja membuat kita jatuh pada kesalahan.
Benarlah perkataan Umar yang melihat teguran kesalahan sebagai hadiah berharga. Sikap ini perlu dikembangkan, terutama demi meningkatkan ketahanan dan soliditas keluarga muslim, agar dapat mengeliminir tarikan ego yang cenderung ingin menang sendiri. Sifat ini adalah kebalikan sifat mementingkan diri sendiri, seperti yang dianut masyarakat materialistis. Mereka hanya mementingkan diri sendiri. Tujuan hidup mereka adalah kebebasan pribadi untuk kepuasan nafsu. Mereka tidak perlu memberitahu orang lain akan kesalahan dan kelalaiannya.
Karena itu, nasehat sebagai wujud kontrol sosial dan pengendalian kualitas keshalehan individu maupun kelompok merupakan kegiatan yang harus dilakukan secara sistematis. Tujuannya adalah untuk memeriksa dan meluruskan penyimpangan yang terjadi. Allah Maha Tahu kelemahan manusia. Kala manusia tak sanggup mengontrol dirinya, Ia mencukupkannya dengan menjadikan sesama muslim sebagai cermin bagi yang lain. Melalui perbuatan mereka, kita dapat melihat perbuatan kita sendiri.
Kini, jauh setelah anjuran Rasulullah tersebut, manusia modern mengenal apa yang disebut dengan Kaizen (sebuah pelatihan manajemen pengembangan diri yang dikembangkan oleh Masaki Imai, 1993). Kai yang artinya change (perubahan) sedangkan zen artinya good (baik). Jadi kaizen berarti perubahan terus menerus menuju penyempurnaan. Wallahu’alam bi shawab.
Demikian pula, kita harus melatih mental dan perasaaan, bahwa menerima nasehat adalah menerima uluran cinta kasih dari saudara kita. Semakin banyak –secara proporsional- kita mendapatkan nasehat, apalagi dari orang-orang terdekat, maka itu artinya mereka semakin menyayangi kita.
Tidak sulit menerima logika di atas jika kita memahami bahwa sesungguhnya nasehat itu adalah umpan balik atas sikap, perilaku atau tindakan yang telah kita lakukan. Sebagai manusia yang memiliki kemampuan terbatas, kita sulit meneliti dan memeriksa diri kita saat melakukan perbuatan. Seringkali kita tidak tahu dan tidak sadar bahwa telah terjadi kesalahan atau kelalaian didalamnya yang bisa saja menimbulkan hal-hal yang tidak menyenangkan bagi orang lain. Selain itu, sesungguhnya dalam diri kita ada dinamika kepribadian dan fluktuasi keimanan seiring dengan kompleksitas ujian hidup yang mungkin saja membuat kita jatuh pada kesalahan.
Benarlah perkataan Umar yang melihat teguran kesalahan sebagai hadiah berharga. Sikap ini perlu dikembangkan, terutama demi meningkatkan ketahanan dan soliditas keluarga muslim, agar dapat mengeliminir tarikan ego yang cenderung ingin menang sendiri. Sifat ini adalah kebalikan sifat mementingkan diri sendiri, seperti yang dianut masyarakat materialistis. Mereka hanya mementingkan diri sendiri. Tujuan hidup mereka adalah kebebasan pribadi untuk kepuasan nafsu. Mereka tidak perlu memberitahu orang lain akan kesalahan dan kelalaiannya.
Karena itu, nasehat sebagai wujud kontrol sosial dan pengendalian kualitas keshalehan individu maupun kelompok merupakan kegiatan yang harus dilakukan secara sistematis. Tujuannya adalah untuk memeriksa dan meluruskan penyimpangan yang terjadi. Allah Maha Tahu kelemahan manusia. Kala manusia tak sanggup mengontrol dirinya, Ia mencukupkannya dengan menjadikan sesama muslim sebagai cermin bagi yang lain. Melalui perbuatan mereka, kita dapat melihat perbuatan kita sendiri.
Kini, jauh setelah anjuran Rasulullah tersebut, manusia modern mengenal apa yang disebut dengan Kaizen (sebuah pelatihan manajemen pengembangan diri yang dikembangkan oleh Masaki Imai, 1993). Kai yang artinya change (perubahan) sedangkan zen artinya good (baik). Jadi kaizen berarti perubahan terus menerus menuju penyempurnaan. Wallahu’alam bi shawab.
Motivasi dari dalam diri
Dua kelompok anak SD diminta untuk membaca suatu tulisan. Satu kelompok diberitahu bahwa mereka akan diuji mengenai bacaan mereka; kelompok lain tidak diberitahu mengenai ujian tersebut. Saat kedua kelompok itu diuji, kelompok yang diberitahu akan ada ujian menunjukkan ingatan mekanik yang lebih baik, tapi kelompok yang tidak diberitahu akan ada ujian memiliki pemahaman yang lebih baik mengenai konsep yang terkandung didalam bacaan. Yang menarik, satu minggu setelah ujian, para peneliti kembali lagi untuk menguji masing-masing kelompok tadi. Seperti yang mereka kira, tidak satupun dari anak-anak itu mengingat bacaan sebanyak ujian yang pertama. Meskipun begitu, yang mengherankan adalah, anak-anak yang pada awalnya diberitahu akan ada ujian sudah banyak yang lupa daripada anak-anak yang hanya membaca bacaan tanpa diminta ikut ujian.
Dalam penelitian demi penelitian –di rumah, di sekolah, di tempat kerja- hasilnya serupa: orang-orang yang diizinkan untuk membuat keputusan mengenai cara mereka bersikap dapat bekerja lebih kompeten dan lebih efektif daripada mereka yang perilakunya dikendalikan dengan ketat dan dinilai oleh orang lain.
Banyak sekolah yang mencoba meningkatkan prestasi murid-murid-nya dengan cara menawarkan hadiah dan uang untuk mereka yang punya nilai bagus. Pikirkan sejenak ide ini! Bukankah seperti ini agak melenceng dari misi pembelajaran yang seharusnya terjadi? Belajar menjadi bukan sesuatu yang dipilih oleh seorang individu normal, namun berdasarkan ketertarikan akan hadiah, sertifikat dan penghargaan sebagai bintang kelas. Hal yang hampir mirip juga terjadi didunia kantor dan perusahaan.
Meskipun penghargaan yang dibuat untuk mempengaruhi perilaku orang bisa efektif dalam jangka pendek, namun penerapan yang berlanjut bisa menjadi kurang efektif untuk memunculkan perilaku yang diinginkan, pada kenyataannya malah bisa mencegah munculnya perilaku tersebut. Yang terjadi, sistem imbalan memfokuskan perhatian pada penghargaan dan bukan pada tugas awal. Mahasiswa mulai terfokus untuk menjaga nilai indeks kumulatifnya, berkonsentrasi untuk menulis makalah, mengerjakan praktikum yang akan memberikan nilai-nilai tinggi dan sekedar mencapai batas minimal untuk lulus mata kuliah. Begitu dia menerima nilai yang diinginkan atau begitu dia lulus ujian, apa yang dia pelajari cepat dilupakan untuk mempersiapkan mata kuliah berikutnya, ujian berikutnya, dan nilai berikutnya. Para pekerja yang mencari bonus-bonus perusahaan mulai terfokus untuk memaksimalkan penjualan dengan merusak kepuasan pelanggan, yang akan berujung pada penurunan penjualan dalam jangka panjang.
Faktanya memang demikian, bukan? Cara-cara pemberian hadiah dan bonus mematikan tumbuhnya motivasi orisinil dari diri. Individu tidak diberi kesempatan untuk mengerti alasan perilaku yang diminta dan tidak diberi kesempatan untuk bekerja sama secara sukarela. Motivasi diri memiliki dua komponen utama: keaslian dan otonomi. Yang dimaksud dengan keaslian, seseorang harus bertindak sesuai dengan diri mereka sendiri secara jujur dan bukan hanya sekedar menginternalisasikan nilai-nilai orang lain. Yang dimaksud dengan otonomi adalah individu harus mengendalikan perilakunya sendiri, memutuskan apa yang harus dilakukan dan bagaimana harus bersikap. Secara praktis kedua komponen ini dapat diterapkan dengan menggunakan apa yang disebut dengan tiga C: content (isi), collaboration (kerjasama), dan choice (pilihan). –tiga C itu bukan cemen,culun, dan cengeng– Jadi pada tahap awal, individu diajak untuk mengerti content (isi) dalam arti tujuan, sasaran atau obyektif suatu pelajaran atau suatu pekerjaan. Lalu dijelaskan tentang pentingnya collaboration (kerjasama) untuk mencapai tujuan tersebut dengan tidak membatasi atau menutup pilihan-pilihan (choice) alternatif mengenai bagaimana cara mencapai sasaran tersebut serta menimbang pilihan mana yang paling efektif dan efisien. Dari sini kreatifitas menemukan ruang aktualisasi yang lebih lebar.
Dengan cara ini, dosen, guru, professor, manager, atasan, direktur, mengambil porsi peranan yang lebih besar sebagai mitra kerja tanpa mengurangi peran kepemimpinannya dalam mengambil keputusan. Dalam lingkup cara mendidik, pendidikan tanpa sekolah membuka peluang lebar-lebar dalam menumbuhkan motivasi diri, sementara sekolah konvensional cenderung kurang membuka peluang tersebut. Wallahu’alam bishawab.
Dalam penelitian demi penelitian –di rumah, di sekolah, di tempat kerja- hasilnya serupa: orang-orang yang diizinkan untuk membuat keputusan mengenai cara mereka bersikap dapat bekerja lebih kompeten dan lebih efektif daripada mereka yang perilakunya dikendalikan dengan ketat dan dinilai oleh orang lain.
Banyak sekolah yang mencoba meningkatkan prestasi murid-murid-nya dengan cara menawarkan hadiah dan uang untuk mereka yang punya nilai bagus. Pikirkan sejenak ide ini! Bukankah seperti ini agak melenceng dari misi pembelajaran yang seharusnya terjadi? Belajar menjadi bukan sesuatu yang dipilih oleh seorang individu normal, namun berdasarkan ketertarikan akan hadiah, sertifikat dan penghargaan sebagai bintang kelas. Hal yang hampir mirip juga terjadi didunia kantor dan perusahaan.
Meskipun penghargaan yang dibuat untuk mempengaruhi perilaku orang bisa efektif dalam jangka pendek, namun penerapan yang berlanjut bisa menjadi kurang efektif untuk memunculkan perilaku yang diinginkan, pada kenyataannya malah bisa mencegah munculnya perilaku tersebut. Yang terjadi, sistem imbalan memfokuskan perhatian pada penghargaan dan bukan pada tugas awal. Mahasiswa mulai terfokus untuk menjaga nilai indeks kumulatifnya, berkonsentrasi untuk menulis makalah, mengerjakan praktikum yang akan memberikan nilai-nilai tinggi dan sekedar mencapai batas minimal untuk lulus mata kuliah. Begitu dia menerima nilai yang diinginkan atau begitu dia lulus ujian, apa yang dia pelajari cepat dilupakan untuk mempersiapkan mata kuliah berikutnya, ujian berikutnya, dan nilai berikutnya. Para pekerja yang mencari bonus-bonus perusahaan mulai terfokus untuk memaksimalkan penjualan dengan merusak kepuasan pelanggan, yang akan berujung pada penurunan penjualan dalam jangka panjang.
Faktanya memang demikian, bukan? Cara-cara pemberian hadiah dan bonus mematikan tumbuhnya motivasi orisinil dari diri. Individu tidak diberi kesempatan untuk mengerti alasan perilaku yang diminta dan tidak diberi kesempatan untuk bekerja sama secara sukarela. Motivasi diri memiliki dua komponen utama: keaslian dan otonomi. Yang dimaksud dengan keaslian, seseorang harus bertindak sesuai dengan diri mereka sendiri secara jujur dan bukan hanya sekedar menginternalisasikan nilai-nilai orang lain. Yang dimaksud dengan otonomi adalah individu harus mengendalikan perilakunya sendiri, memutuskan apa yang harus dilakukan dan bagaimana harus bersikap. Secara praktis kedua komponen ini dapat diterapkan dengan menggunakan apa yang disebut dengan tiga C: content (isi), collaboration (kerjasama), dan choice (pilihan). –tiga C itu bukan cemen,culun, dan cengeng– Jadi pada tahap awal, individu diajak untuk mengerti content (isi) dalam arti tujuan, sasaran atau obyektif suatu pelajaran atau suatu pekerjaan. Lalu dijelaskan tentang pentingnya collaboration (kerjasama) untuk mencapai tujuan tersebut dengan tidak membatasi atau menutup pilihan-pilihan (choice) alternatif mengenai bagaimana cara mencapai sasaran tersebut serta menimbang pilihan mana yang paling efektif dan efisien. Dari sini kreatifitas menemukan ruang aktualisasi yang lebih lebar.
Dengan cara ini, dosen, guru, professor, manager, atasan, direktur, mengambil porsi peranan yang lebih besar sebagai mitra kerja tanpa mengurangi peran kepemimpinannya dalam mengambil keputusan. Dalam lingkup cara mendidik, pendidikan tanpa sekolah membuka peluang lebar-lebar dalam menumbuhkan motivasi diri, sementara sekolah konvensional cenderung kurang membuka peluang tersebut. Wallahu’alam bishawab.
Nasehat dan kelembutan
Ada beberapa prinsip yang perlu dipahami ketika kita berada dalam posisi sebagai pemberi nasehat. Pertama, hal penting yang perlu diperhatikan dalam menasehati saudara kita adalah masalah niat. Sampaikanlah nasehat semata-mata karena Allah, bukan karena tujuan keduniawian atau nafsu dan hasrat pribadi. Dengan begitu, kita tidak perlu berkecil hati bila nasehat kita tidak diterima dengan baik. Anggaplah respon negatif tersebut sebagai ujian kesabaran. Pengalaman mengajarkan, orang-orang yang kecewa –sekalipun karena nasehat yang terbuka dan korektif- pada waktunya akan menghargai dan berterimakasih dalam hati mereka. Mengapa berkecil hati, bukankah nasehat itu ibarat pohon kebaikan yang kita tanam dan kita tidak tahu kapan akan tumbuh dan berbuah (QS. Al-A’raf:164).
Kedua, agar sebuah nasehat efektif, tunjukkanlah cinta, kasih sayang dan keikhlasan saat memberi nasehat. Hindari nada bicara yang menunjukan kebanggaan, celaan, olok-olok atau cemoohan. (QS. Al-Hujurat:11)
Ketiga, masalah pemilihan waktu yang tepat, perlu juga diperhatikan. Akhlak Islam menuntut kita menyampaikan nasehat secara pribadi, bukan di depan khalayak ramai, untuk menghindari timbulnya perasaan yang tidak baik. Tujuan nasehat adalah memperbaiki kelemahan dan menyempurnakan kekurangan seseorang, bukan mengumumkan dan mensosialisasikan kesalahannya.
Keempat, bersabar dan berhati-hati dalam menggunakan perkataan dan memilih suasana emosi yang tepat. Kita tidak boleh tersinggung atau kecewa jika nasehat kita tidak berpengaruh bagi orang lain. Mungkin semua itu membutuhkan waktu.
Kelima, jauhi pertentangan yang sia-sia. Adakalanya, pendapat kita salah dan pendapat orang yang kita beri nasehat itu benar. Dalam situasi ini, ubahlah tindakan memberi nasehat menjadi ajang bertukar pikiran dengan penuh persaudaraan. Ingatlah, tanggung jawab kita hanyalah memberi nasehat, bukan hidayah. Sebuah nasehat tak akan bermanfaat kecuali hanya dengan izin-Nya dan bergantung pula pada kadar keimanan penerima nasehat. Allah Swt berfirman, ”dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Adz-Dzariyat: 55)
Keenam, jadilah cermin yang detil dengan memberi informasi yang lebih spesifik. Misalnya nasehat tentang kebersihan masih bersifat global dan umum. Agar saudara kita menyadari masalahnya, sebutkan hal yang spesifik, misalnya nafas yang kurang sedap atau pakai yang kumal.
Dalam manajemen nasehat diperlukan kepekaan dan kearifan yang tinggi agar mencapai hasil optimal (QS. An-Nahl:125). Presiden Lincoln, lebih dari seratus tahun yang lalu, berkata, ”Orang lebih mudah menangkap lalat dengan sirop daripada dengan cuka.” Sesungguhnya ajaran Islam telah lebih dulu menganjurkan umatnya agar ‘menangkap orang’ dengan keramah-tamahan yang manis, bukan dengan gertakan-gertakan yang kecut, sekalipun terhadap anak dan orang kesayangan yang paling dekat. Ini misteri hati yang sangat lemah dan rapuh dalam menghadapi kelembutan.
Allah Swt membekali Nabi Muhammad Saw dengan sifat kelembutan untuk berdakwah menghadapi umatnya (QS. Ali-Imran: 159). Itulah sebabnya dalam beberapa kisah, seringkali orang-orang yang diberikan nasehat oleh Nabi Saw meresponnya sambil mengungkapkan perasaan bahwa orang itu mencintai nabi. Sungguh ini bukan sekedar buah dari nasehat yang berlogika tajam dan cerdas, melainkan nasehat itu bersandar pada sifat kelemah-lembutan yang bisa langsung menyentuh dasar hati penerima nasehat.
Pelajaran ini, insya Allah membuka mata dan kesadaran kita akan dampak dari pemberian nasehat berbobot yang disampaikan dengan penuh kelembutan. Bila hal ini dilakukan secara berkelanjutan dan berulang-ulang, tanpa disadari, diantara pemberi dan penerima nasehat, akan tumbuh jalinan ikatan kasih sayang maupun persaudaraan yang semakin kuat.
Sejauh ini, bila interaksi nasehat menasehati terjadi diantara sesama laki-laki, maupun sesama wanita, dampak dari sikap lembut dan ramah selalu bernilai positif. Akan tetapi, fakta lapangan seringkali menunjukkan hal yang ’negatif’ bila aktifitas saling menasehati terjadi antara seorang laki-laki dan seorang wanita. Kedekatan yang berawal dari motivasi yang ikhlas perlahan-lahan terkontaminasi oleh rasa ketertarikan yang berhembus dari nafsu dan hasrat pribadi. Nasehat yang mulanya mengalir tulus tanpa mengharapkan sesuatu kecuali ingin memperbaiki kekurangan saudaranya, sedikit demi sedikit bergeser menjadi pengharapan akan penerimaan yang lebih dalam. Perhatian yang berlebihan (dalam konotasi negatif) dan rasa ingin selalu dekat selalu bercampur dengan semangat keikhlasan saat ingin memberikan nasehat. Ketergantungan seketika tercipta, seolah-olah hanya sang penasehat yang mampu menasehati dirinya. Lebih jauh lagi, pengakuan verbal sebagai satu-satunya penasehat spiritual acapkali mendorong keinginan untuk memberikan ’wewenang’ tambahan kepada sang penasehat agar mau berperan lebih yaitu sebagai penasehat pribadi dalam rumah tangga.
Kita tidak hendak membahas pro dan kontra dari akibat aktifitas saling menasehati antara lawan jenis, kecuali sekedar menunjukkan benang merah hubungan sebab akibat antara sikap lembut dalam menasehati dan hasrat ketertarikan dari dorongan nafsu manusiawi. Satu hal yang perlu dicermati adalah bahwa kita membutuhkan persiapan dan kewaspadaan ekstra di dalam hati ketika memutuskan untuk terjun dalam wilayah saling menasehati kepada seseorang (dakwah fardiyah) yang berbeda jenis dengan kita. Tanpa kematangan dan kekokohan spiritual yang mantab, sebaiknya urungkan niat anda untuk masuk terlalu dalam ke wilayah ini. Yang pasti, syetan selalu mengintai dan berupaya mencari celah-celah kelalaian dan kelengahan dalam semua aktifitas amal sholeh yang dilakukan oleh setiap hamba Allah. Semoga Allah Swt selalu melindungi kita semua dari godaan syetan yang terkutuk. Wallahu’alam bishawab.
Kedua, agar sebuah nasehat efektif, tunjukkanlah cinta, kasih sayang dan keikhlasan saat memberi nasehat. Hindari nada bicara yang menunjukan kebanggaan, celaan, olok-olok atau cemoohan. (QS. Al-Hujurat:11)
Ketiga, masalah pemilihan waktu yang tepat, perlu juga diperhatikan. Akhlak Islam menuntut kita menyampaikan nasehat secara pribadi, bukan di depan khalayak ramai, untuk menghindari timbulnya perasaan yang tidak baik. Tujuan nasehat adalah memperbaiki kelemahan dan menyempurnakan kekurangan seseorang, bukan mengumumkan dan mensosialisasikan kesalahannya.
Keempat, bersabar dan berhati-hati dalam menggunakan perkataan dan memilih suasana emosi yang tepat. Kita tidak boleh tersinggung atau kecewa jika nasehat kita tidak berpengaruh bagi orang lain. Mungkin semua itu membutuhkan waktu.
Kelima, jauhi pertentangan yang sia-sia. Adakalanya, pendapat kita salah dan pendapat orang yang kita beri nasehat itu benar. Dalam situasi ini, ubahlah tindakan memberi nasehat menjadi ajang bertukar pikiran dengan penuh persaudaraan. Ingatlah, tanggung jawab kita hanyalah memberi nasehat, bukan hidayah. Sebuah nasehat tak akan bermanfaat kecuali hanya dengan izin-Nya dan bergantung pula pada kadar keimanan penerima nasehat. Allah Swt berfirman, ”dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Adz-Dzariyat: 55)
Keenam, jadilah cermin yang detil dengan memberi informasi yang lebih spesifik. Misalnya nasehat tentang kebersihan masih bersifat global dan umum. Agar saudara kita menyadari masalahnya, sebutkan hal yang spesifik, misalnya nafas yang kurang sedap atau pakai yang kumal.
Dalam manajemen nasehat diperlukan kepekaan dan kearifan yang tinggi agar mencapai hasil optimal (QS. An-Nahl:125). Presiden Lincoln, lebih dari seratus tahun yang lalu, berkata, ”Orang lebih mudah menangkap lalat dengan sirop daripada dengan cuka.” Sesungguhnya ajaran Islam telah lebih dulu menganjurkan umatnya agar ‘menangkap orang’ dengan keramah-tamahan yang manis, bukan dengan gertakan-gertakan yang kecut, sekalipun terhadap anak dan orang kesayangan yang paling dekat. Ini misteri hati yang sangat lemah dan rapuh dalam menghadapi kelembutan.
Allah Swt membekali Nabi Muhammad Saw dengan sifat kelembutan untuk berdakwah menghadapi umatnya (QS. Ali-Imran: 159). Itulah sebabnya dalam beberapa kisah, seringkali orang-orang yang diberikan nasehat oleh Nabi Saw meresponnya sambil mengungkapkan perasaan bahwa orang itu mencintai nabi. Sungguh ini bukan sekedar buah dari nasehat yang berlogika tajam dan cerdas, melainkan nasehat itu bersandar pada sifat kelemah-lembutan yang bisa langsung menyentuh dasar hati penerima nasehat.
Pelajaran ini, insya Allah membuka mata dan kesadaran kita akan dampak dari pemberian nasehat berbobot yang disampaikan dengan penuh kelembutan. Bila hal ini dilakukan secara berkelanjutan dan berulang-ulang, tanpa disadari, diantara pemberi dan penerima nasehat, akan tumbuh jalinan ikatan kasih sayang maupun persaudaraan yang semakin kuat.
Sejauh ini, bila interaksi nasehat menasehati terjadi diantara sesama laki-laki, maupun sesama wanita, dampak dari sikap lembut dan ramah selalu bernilai positif. Akan tetapi, fakta lapangan seringkali menunjukkan hal yang ’negatif’ bila aktifitas saling menasehati terjadi antara seorang laki-laki dan seorang wanita. Kedekatan yang berawal dari motivasi yang ikhlas perlahan-lahan terkontaminasi oleh rasa ketertarikan yang berhembus dari nafsu dan hasrat pribadi. Nasehat yang mulanya mengalir tulus tanpa mengharapkan sesuatu kecuali ingin memperbaiki kekurangan saudaranya, sedikit demi sedikit bergeser menjadi pengharapan akan penerimaan yang lebih dalam. Perhatian yang berlebihan (dalam konotasi negatif) dan rasa ingin selalu dekat selalu bercampur dengan semangat keikhlasan saat ingin memberikan nasehat. Ketergantungan seketika tercipta, seolah-olah hanya sang penasehat yang mampu menasehati dirinya. Lebih jauh lagi, pengakuan verbal sebagai satu-satunya penasehat spiritual acapkali mendorong keinginan untuk memberikan ’wewenang’ tambahan kepada sang penasehat agar mau berperan lebih yaitu sebagai penasehat pribadi dalam rumah tangga.
Kita tidak hendak membahas pro dan kontra dari akibat aktifitas saling menasehati antara lawan jenis, kecuali sekedar menunjukkan benang merah hubungan sebab akibat antara sikap lembut dalam menasehati dan hasrat ketertarikan dari dorongan nafsu manusiawi. Satu hal yang perlu dicermati adalah bahwa kita membutuhkan persiapan dan kewaspadaan ekstra di dalam hati ketika memutuskan untuk terjun dalam wilayah saling menasehati kepada seseorang (dakwah fardiyah) yang berbeda jenis dengan kita. Tanpa kematangan dan kekokohan spiritual yang mantab, sebaiknya urungkan niat anda untuk masuk terlalu dalam ke wilayah ini. Yang pasti, syetan selalu mengintai dan berupaya mencari celah-celah kelalaian dan kelengahan dalam semua aktifitas amal sholeh yang dilakukan oleh setiap hamba Allah. Semoga Allah Swt selalu melindungi kita semua dari godaan syetan yang terkutuk. Wallahu’alam bishawab.
Potensi vs impotensi
Bisakah Anda jelaskan apa yang jadi impian Anda lima tahun mendatang? Inikah jawaban Anda, “Pokoknya bagaimana nantilah, yang penting kita lakukan saja apa yang ada di depan kita saat ini.” Jika ya, artinya Anda orang tipe bagaimana nanti bukan nanti bagaimana. Lho, apa bedanya?
Perbedaannya tipis sekali. Yang pertama menyiratkan makna bahwa seolah-olah perencanaan hidup sukses tidak sepenting dibanding pencapaian sukses itu sendiri. Sedangkan yang kedua mengatakan, merencanakan hidup sukses merupakan sebagian jalan yang harus ditempuh untuk mencapai sukses hidup.
Dan, setiap orang punya potensi yang sama untuk sukses. Anehnya, mengapa ada yang berhasil dan yang lain gagal? Jawabannya ternyata sederhana: orang itu gagal karena potensinya masih tersembunyi atau belum muncul ke permukaan. Bisa juga karena belum memfungsikannya secara optimal. Jadi, sumber kegagalan orang itu adalah impotensi. Pemberian rangsangan adalah cara jitu agar yang bersangkutan dapat berpikir dan bertindak lebih powerful.
Alangkah indahnya kita hidup dan tinggal di lingkungan orang-orang berpikir positif dan berjiwa besar penuh vitalitas. Akan selalu ada orang yang memberikan ‘stroom’ untuk bangkit di saat problematika, dilematika, dan romantika kehidupan datang bertubi-tubi. Lalu, stimulasi macam apa yang dapat mengubah impotensi menjadi potensi sehingga mampu memompa semangat kita yang sedang 3L (lesu, letih, lemah). Stimulasi itu adalah internal motivation, yaitu kemauan dan keberanian serta konsistensi untuk membangunkan potensi kita yang sedang tidur..
Hal pertama yang perlu dilakukan ialah harus mau dan berani untuk menantang diri sendiri dan selalu siap menangkap tantangan yang ada di hadapan kita. Umumnya hambatan yang paling kuat dalam menghadapi tantangan adalah cap buruk terhadap diri sendiri yang merasa tidak mampu melakukan hal-hal besar dan cenderung menjadi orang biasa-biasa saja. Selanjutnya, ciptakan kompetisi untuk membangkitkan potensi diri kita. Dalam diri kita selalu ada pertarungan 2 kubu, yaitu kubu idealisme dan kubu realisme, kubu optimisme dan kubu pesimisme, atau kubu harapan dan kubu kekhawatiran. Kita tidak bisa melihat kubu itu sebagai lawan atau kawan atau mendikotomi keduanya karena keduanya bersifat saling mengisi.
Seorang karyawan bisa saja menjadi penuh dedikasi ketika ia mendapat kabar akan dipensiunkan. Tentu saja pembaca yang budiman, saya tidak bermaksud mengatakan pada Anda bahwa kita akan menjadi lebih baik lantaran menantikan kehadiran sebuah bencana lebih dulu, namun bagaimana kita berimajinasi seolah-olah bencana sudah ada di depan mata kita.
Para ahli agama mengatakan, ”Berbuatlah kalian untuk duniamu seolah-olah hidup selama-lamanya dan berbuatlah untuk akhiratmu seolah-olah mati besok”. Manajemen ‘seolah-olah’ agaknya menjadi hal terakhir yang dapat membangkitkan impotensi kita.
Perbedaannya tipis sekali. Yang pertama menyiratkan makna bahwa seolah-olah perencanaan hidup sukses tidak sepenting dibanding pencapaian sukses itu sendiri. Sedangkan yang kedua mengatakan, merencanakan hidup sukses merupakan sebagian jalan yang harus ditempuh untuk mencapai sukses hidup.
Dan, setiap orang punya potensi yang sama untuk sukses. Anehnya, mengapa ada yang berhasil dan yang lain gagal? Jawabannya ternyata sederhana: orang itu gagal karena potensinya masih tersembunyi atau belum muncul ke permukaan. Bisa juga karena belum memfungsikannya secara optimal. Jadi, sumber kegagalan orang itu adalah impotensi. Pemberian rangsangan adalah cara jitu agar yang bersangkutan dapat berpikir dan bertindak lebih powerful.
Alangkah indahnya kita hidup dan tinggal di lingkungan orang-orang berpikir positif dan berjiwa besar penuh vitalitas. Akan selalu ada orang yang memberikan ‘stroom’ untuk bangkit di saat problematika, dilematika, dan romantika kehidupan datang bertubi-tubi. Lalu, stimulasi macam apa yang dapat mengubah impotensi menjadi potensi sehingga mampu memompa semangat kita yang sedang 3L (lesu, letih, lemah). Stimulasi itu adalah internal motivation, yaitu kemauan dan keberanian serta konsistensi untuk membangunkan potensi kita yang sedang tidur..
Hal pertama yang perlu dilakukan ialah harus mau dan berani untuk menantang diri sendiri dan selalu siap menangkap tantangan yang ada di hadapan kita. Umumnya hambatan yang paling kuat dalam menghadapi tantangan adalah cap buruk terhadap diri sendiri yang merasa tidak mampu melakukan hal-hal besar dan cenderung menjadi orang biasa-biasa saja. Selanjutnya, ciptakan kompetisi untuk membangkitkan potensi diri kita. Dalam diri kita selalu ada pertarungan 2 kubu, yaitu kubu idealisme dan kubu realisme, kubu optimisme dan kubu pesimisme, atau kubu harapan dan kubu kekhawatiran. Kita tidak bisa melihat kubu itu sebagai lawan atau kawan atau mendikotomi keduanya karena keduanya bersifat saling mengisi.
Seorang karyawan bisa saja menjadi penuh dedikasi ketika ia mendapat kabar akan dipensiunkan. Tentu saja pembaca yang budiman, saya tidak bermaksud mengatakan pada Anda bahwa kita akan menjadi lebih baik lantaran menantikan kehadiran sebuah bencana lebih dulu, namun bagaimana kita berimajinasi seolah-olah bencana sudah ada di depan mata kita.
Para ahli agama mengatakan, ”Berbuatlah kalian untuk duniamu seolah-olah hidup selama-lamanya dan berbuatlah untuk akhiratmu seolah-olah mati besok”. Manajemen ‘seolah-olah’ agaknya menjadi hal terakhir yang dapat membangkitkan impotensi kita.
Sekali lagi, ikhlaslah!
“Sesungguhnya hari ini adalah satu hari di antara hari-hari Allah, tidak pantas diisi dengan kebanggan dan keangkuhan. Ikhlaskanlah jihadmu dan tujulah Allah dengan amalmu. Karena hari ini menentukan hari-hari yang akan datang.” Demikian kata-kata Khalid bin Walid di tengah-tengah berkecamuknya perang Yarmuk.
Kata ikhlas sudah begitu sering kita dengar dalam berbagai kesempatan. Bagi kader dakwah, semestinya ikhlas tidak boleh lagi menjadi sekadar retorika belaka, melainkan ia harus hadir dan ada dalam diri kita, menyatu dalam pikiran, hati, bersenyawa dengan jiwa, seirama dengan detak jantung dan tarikan nafas. Bersamanya kita memulai hari-hari, dengannya kita bekerja, membangun ukhuwah dan menapaki jalan dakwah ini.
Sungguh perlu kita sadari bahwa hati seorang hamba senantiasa dikepung dari berbagai penjuru oleh hawa nafsu, kepentingan sesaat, ambisi duniawi, rasa malas, hasrat kemaksiatan dan gejolak ingin dipuji serta disanjung. Kesemuanya ini mengintai kondisi lemah hati kita. Dan ketika kondisi lemah dan lalai mereka dapatkan, dengan segera mereka menembus hati kita dan menguasainya. Naudzubillah..
Karena itu saudaraku yang dicintai karena Allah, sudah sepatutnya kita menyadari dengan sepenuh hati, bahwa sejak kali pertama kita bergabung dengan dakwah ini, ikhlas telah menjadi tuntutan dan kewajiban yang mengikat diri kita sampai Allah menampakkan kemenangan bagi dakwah ini atau kita syahid dalam menegaknya dan membelanya.
Di sini saya tidak akan menguraikan makna ikhlas dengan kata-kata, kita semua bahkan telah menghafalnya diluar kepala. Saya ingin mengajak kita semua merenungi bersama kata-kata ini:
Apakah kita telah menjadikan ikhlas sebagai sesuatu yang menyatu dalam diri kita, melebur, menjasad, mendarah daging, menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam diri kita?
Apakah ikhlas telah merasuk dalam pikiran kita sehingga membuat kita menjadi produktif sekaligus kreatif dalam mengeluarkan gagasan untuk membangun dakwah ini tanpa tendensi apapun selain kepada Allah Swt?
Apakah ikhlas telah melebur kedalam hati kita sehingga menjadikan kita mampu memandang segala permasalahan dakwah ini secara jernih, dan menjadikan kita mampu membangun ukhuwah, ukhuwah yang sebenarnya bukan sekedar hiasan kata apalagi untuk saluran hasrat dan nafsu sesaat?
Apakah ikhlas telah menjadi jiwa dalam setiap amal yang kita lakukan, sehingga menjadikan kita rela mengemban amanah serta melaksanakan apapun tugas-tugas dan kebijakan dakwah dengan penuh tanggung jawab, tanpa rasa berat dan tidak berharap balasan atas semua itu kecuali hanyalah dari Allah Swt?
Atau wahai saudaraku para kader dakwah yang saya cintai karena Allah, apakah ikhlas baru sekedar kata tanpa makna, atau ia cuma retorika yang kita suapkan kepada mutarobbi kita?
Saudaraku..
Takutlah kepada Allah, karena Dia Maha Melihat, Maha Mendengar, Maha Kuasa atas segala sesuatu. Sesungguhnya kemenangan dakwah ini sejak dulunya selalu terkait dengan keikhlasan para pendukungnya.
Mari kita kembali pada ashalah (keaslian) dakwah ini, sebenarnya apa motivasi awal kita memilih hidup di jalan ini? Apa yang kita inginkan ketika kita bergabung dengan dakwah ini? Izinkan saya untuk menjawabnya:
Motivasi awal dan keinginan kita adalah meraih ridho Allah, untuk itu kita akan ikut berputar bersama roda dakwah ini kemanapun ia berputar, tidak akan bergeser darinya karena kita yakin kebaikan itu ada bersama dengan dakwah dan kehinaan dunia akhirat bila memisahkan diri darinya. Semua itu kita lakukan sebagai sarana atau jalan untuk meraih keridhaan Allah Swt, lain tidak. Bagi kita, ridha Allah adalah imbalan terbesar dan termahal, karena itu kita sudah merasa cukup dengan imbalan itu.
Nabi Muhammad Saw pernah berpesan,” Jagalah Allah, niscaya Dia akan menjagamu”. Ungkapan hadits ini mengandung makna bahwa Allah berjanji akan menjaga dan melindungi kita dari segala macam gangguan, godaan dan bujuk rayu syetan entah itu berupa jin maupun manusia, selama kita menjaga keikhlasan hati hanya kepada Allah.
Wahai saudaraku..
Marilah kita jadikan ikhlas sebagai titik tolak segala perbuatan kita, gerak-gerik tingkah laku, sikap, kata-kata, dan perbuatan kita, menjadi akar dan pondasi visi dan misi kehidupan kita. Mari kita letakkan ikhlas di lubuk hati yang paling dalam hingga ia menyertai segala niat dan lintasan hati yang ada di benak kita. Semoga Allah Swt senantiasa menjaga kita semua. Amiin ya.. robbal ’alamin.
Kata ikhlas sudah begitu sering kita dengar dalam berbagai kesempatan. Bagi kader dakwah, semestinya ikhlas tidak boleh lagi menjadi sekadar retorika belaka, melainkan ia harus hadir dan ada dalam diri kita, menyatu dalam pikiran, hati, bersenyawa dengan jiwa, seirama dengan detak jantung dan tarikan nafas. Bersamanya kita memulai hari-hari, dengannya kita bekerja, membangun ukhuwah dan menapaki jalan dakwah ini.
Sungguh perlu kita sadari bahwa hati seorang hamba senantiasa dikepung dari berbagai penjuru oleh hawa nafsu, kepentingan sesaat, ambisi duniawi, rasa malas, hasrat kemaksiatan dan gejolak ingin dipuji serta disanjung. Kesemuanya ini mengintai kondisi lemah hati kita. Dan ketika kondisi lemah dan lalai mereka dapatkan, dengan segera mereka menembus hati kita dan menguasainya. Naudzubillah..
Karena itu saudaraku yang dicintai karena Allah, sudah sepatutnya kita menyadari dengan sepenuh hati, bahwa sejak kali pertama kita bergabung dengan dakwah ini, ikhlas telah menjadi tuntutan dan kewajiban yang mengikat diri kita sampai Allah menampakkan kemenangan bagi dakwah ini atau kita syahid dalam menegaknya dan membelanya.
Di sini saya tidak akan menguraikan makna ikhlas dengan kata-kata, kita semua bahkan telah menghafalnya diluar kepala. Saya ingin mengajak kita semua merenungi bersama kata-kata ini:
Apakah kita telah menjadikan ikhlas sebagai sesuatu yang menyatu dalam diri kita, melebur, menjasad, mendarah daging, menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam diri kita?
Apakah ikhlas telah merasuk dalam pikiran kita sehingga membuat kita menjadi produktif sekaligus kreatif dalam mengeluarkan gagasan untuk membangun dakwah ini tanpa tendensi apapun selain kepada Allah Swt?
Apakah ikhlas telah melebur kedalam hati kita sehingga menjadikan kita mampu memandang segala permasalahan dakwah ini secara jernih, dan menjadikan kita mampu membangun ukhuwah, ukhuwah yang sebenarnya bukan sekedar hiasan kata apalagi untuk saluran hasrat dan nafsu sesaat?
Apakah ikhlas telah menjadi jiwa dalam setiap amal yang kita lakukan, sehingga menjadikan kita rela mengemban amanah serta melaksanakan apapun tugas-tugas dan kebijakan dakwah dengan penuh tanggung jawab, tanpa rasa berat dan tidak berharap balasan atas semua itu kecuali hanyalah dari Allah Swt?
Atau wahai saudaraku para kader dakwah yang saya cintai karena Allah, apakah ikhlas baru sekedar kata tanpa makna, atau ia cuma retorika yang kita suapkan kepada mutarobbi kita?
Saudaraku..
Takutlah kepada Allah, karena Dia Maha Melihat, Maha Mendengar, Maha Kuasa atas segala sesuatu. Sesungguhnya kemenangan dakwah ini sejak dulunya selalu terkait dengan keikhlasan para pendukungnya.
Mari kita kembali pada ashalah (keaslian) dakwah ini, sebenarnya apa motivasi awal kita memilih hidup di jalan ini? Apa yang kita inginkan ketika kita bergabung dengan dakwah ini? Izinkan saya untuk menjawabnya:
Motivasi awal dan keinginan kita adalah meraih ridho Allah, untuk itu kita akan ikut berputar bersama roda dakwah ini kemanapun ia berputar, tidak akan bergeser darinya karena kita yakin kebaikan itu ada bersama dengan dakwah dan kehinaan dunia akhirat bila memisahkan diri darinya. Semua itu kita lakukan sebagai sarana atau jalan untuk meraih keridhaan Allah Swt, lain tidak. Bagi kita, ridha Allah adalah imbalan terbesar dan termahal, karena itu kita sudah merasa cukup dengan imbalan itu.
Nabi Muhammad Saw pernah berpesan,” Jagalah Allah, niscaya Dia akan menjagamu”. Ungkapan hadits ini mengandung makna bahwa Allah berjanji akan menjaga dan melindungi kita dari segala macam gangguan, godaan dan bujuk rayu syetan entah itu berupa jin maupun manusia, selama kita menjaga keikhlasan hati hanya kepada Allah.
Wahai saudaraku..
Marilah kita jadikan ikhlas sebagai titik tolak segala perbuatan kita, gerak-gerik tingkah laku, sikap, kata-kata, dan perbuatan kita, menjadi akar dan pondasi visi dan misi kehidupan kita. Mari kita letakkan ikhlas di lubuk hati yang paling dalam hingga ia menyertai segala niat dan lintasan hati yang ada di benak kita. Semoga Allah Swt senantiasa menjaga kita semua. Amiin ya.. robbal ’alamin.
Apa potensi saya?
"APA sih potensi saya?” Pasti pertanyaan ini pernah kita lontarkan. Tapi tahukah Anda ada kalanya pertanyaan itu menyesatkan diri Anda sendiri?
Pertanyaan semacam itu biasanya menghantui para remaja. Maklum, itu usia pencarian identitas. Tapi, tak jarang lho ditanyakan juga oleh orang dewasa. Itu bukan berarti mereka kehilangan identitas, namun biasanya terjadi saat harus memilih ulang pekerjaan yang akan ia geluti. Misalnya, pada sarjana yang baru lulus, pekerja yang baru kena PHK, atau pada orang yang selalu gagal berwirausaha.
Situasi seperti itu kerap memaksa orang untuk menilai ulang dirinya. Jadi, pertanyaan seperti di atas sah-sah saja dilontarkan. Harapannya tentu saja kita mendapat jawaban yang tepat. Dengan begitu keputusan kita dalam memilih dunia kerja yang akan kita geluti bisa pas.
Namun, ada dua hal yang perlu dipertanyakan agar kita tidak disesatkan oleh pertanyaan itu. Pertama, apa sebenarnya yang sedang terjadi pada diri kita dibalik pertanyaan itu? Kedua, apakah pertanyaan itu telah membuat kita terpaku dan ragu dalam mengambil keputusan?
Umumnya, pertanyaan bernada sangsi pada kemampuan diri itu timbul saat kita sedang mencari identitas diri. Kebanyakan kaum remaja yang mempertanyakan. Ingin tahu siapa diri mereka sebenarnya, apa kelebihan-kekurangannya. Bakat apa yang mereka miliki dan prinsip hidup seperti apa yang pas untuk dipegang.
Itu alasan yang positif, Nah, dua yang terakhir ini perlu diwaspadai. Jika pertanyaan di judul muncul di benak Anda akibat keraguan mengambil keputusan atau rasa frustasi karena kegagalan yang beruntun. Hati-hatilah! Pertanyaan di atas bisa menyesatkan, bahkan menjadi apologi untuk tidak melakukan apa apa.
Di situasi itu Anda sebenarnya bukan tidak tahu potensi diri. Justru Anda telah memiliki sejumlah kemampuan yang siap dimanfaatkan. Hanya saja keraguan dan rasa frustrasi membuat Anda merasa tidak memiliki apa apa, bahkan merasa tidak berdaya. Karena itu, agar tidak tersesat, ubah cara berpikir Anda! Patok sesuatu sebagai tujuan dan bunuh rasa takut gagal. Berprasangka baiklah kepada Allah. Semua pemberian Allah itu baik buat kita. Allah akan menolong usaha kita.
Tahukah Anda, sebenarnya peran potensi dalam keberhasilan seseorang dalam menekuni pekerjaannya tidaklah terlalu besar! Saat ini orang lebih banyak membicarakan kuatnya motivasi, memadainya kompetensi, dan uletnya usaha sebagai kunci keberhasilan. Bukan potensi.
Memang, potensi berperan dalam memperoleh kompetensi. Tapi, sebenarnya sulit membedakan potensi dari kompetensi. Misalnya kecerdasan. Orang menyebutnya sebagai potensi untuk dapat menguasi pengetahuan. Namun, kemampuan menganalisis, mengenali masalah, dan mengembangkan alternatif penyelesaian masalah adalah kompetensi berpikir. Kompetensi berpikir sering juga disebut sebagai kecerdasan dan kreativitas. Jadi, kecerdasan dan kreativitas adalah potensi, dan ada kalanya disebut kompetensi.
Nah, sekarang kita lupa soal perbedaan potensi dan kompetensi. Sebaiknya, kita mulai dengan mengubah cara berpikir. Kalau biasanya Anda memulai dari “apa yang saya miliki”, saat ini pakai "apa yang bisa saya capai dengan modal ini". Jadi, pertanyaanya berubah. Bukan lagi "apa potensi saya". Tapi, “apa yang ingin saya raih dan modal apa yang harus saya usahakan untuk mencapai itu”.
Itulah langkah pertama Anda untuk mengembangkan diri. Dengan cara pikir demikian, Anda akan memiliki arah kemana Anda akan berkembang. Anda pun akan dapat memastikan hal apa yang harus Anda kembangkan dalam diri Anda.
Selanjutnya, buat daftar kompetensi yang harus Anda miliki. Sebagai contoh, Anda telah memastikan ingin jadi penulis, maka langkah selanjutnya daftar sejumlah kompetensi yang harus Anda miliki. Kira-kira seperti ini: keluasan wawasan, kepekaan terhadap masalah yang terhadir di masyarakat, kekayaan kosa kata, kreativitas, dan penguasaan teknik menulis.
Tentu saja kompetensi itu tidak melulu bersifat pemikiran dan intelektual. Bisa juga kepribadian, Misalnya, kepemimpinan, cara berkomunikasi, atau kemampuan bekerja sama.
Jika Anda telah punya daftarnya, kini mulailah beraksi! Artinya, Anda harus punya program meraihnya. Misalnya, membaca satu buku dalam seminggu, ikuti seminar, diskusi, dan workshop menulis. Yang aksi paling penting adalah mulai mengirim tulisan ke penerbit seperti apa pun hasil tulisan Anda. Sebab, bagi penulis pemula inilah proses quantum learning.
Kalau itu sudah Anda lakukan, siapkanlah dada yang lapang. Syukuri setiap kemajuan yang diperoleh, sekecil apa pun kadarnya. Karena, itu adalah karunia Allah. Ingat, semakin Anda bersyukur, Allah akan menambahkan karuniaNya. Terakhir, sebagai bahan renungan, sebenarnya apa yang ingin Anda gapai dengan bersusah payah mengembangkan potensi diri? Semoga tidak sekadar ingin meraih materi.
Pertanyaan semacam itu biasanya menghantui para remaja. Maklum, itu usia pencarian identitas. Tapi, tak jarang lho ditanyakan juga oleh orang dewasa. Itu bukan berarti mereka kehilangan identitas, namun biasanya terjadi saat harus memilih ulang pekerjaan yang akan ia geluti. Misalnya, pada sarjana yang baru lulus, pekerja yang baru kena PHK, atau pada orang yang selalu gagal berwirausaha.
Situasi seperti itu kerap memaksa orang untuk menilai ulang dirinya. Jadi, pertanyaan seperti di atas sah-sah saja dilontarkan. Harapannya tentu saja kita mendapat jawaban yang tepat. Dengan begitu keputusan kita dalam memilih dunia kerja yang akan kita geluti bisa pas.
Namun, ada dua hal yang perlu dipertanyakan agar kita tidak disesatkan oleh pertanyaan itu. Pertama, apa sebenarnya yang sedang terjadi pada diri kita dibalik pertanyaan itu? Kedua, apakah pertanyaan itu telah membuat kita terpaku dan ragu dalam mengambil keputusan?
Umumnya, pertanyaan bernada sangsi pada kemampuan diri itu timbul saat kita sedang mencari identitas diri. Kebanyakan kaum remaja yang mempertanyakan. Ingin tahu siapa diri mereka sebenarnya, apa kelebihan-kekurangannya. Bakat apa yang mereka miliki dan prinsip hidup seperti apa yang pas untuk dipegang.
Itu alasan yang positif, Nah, dua yang terakhir ini perlu diwaspadai. Jika pertanyaan di judul muncul di benak Anda akibat keraguan mengambil keputusan atau rasa frustasi karena kegagalan yang beruntun. Hati-hatilah! Pertanyaan di atas bisa menyesatkan, bahkan menjadi apologi untuk tidak melakukan apa apa.
Di situasi itu Anda sebenarnya bukan tidak tahu potensi diri. Justru Anda telah memiliki sejumlah kemampuan yang siap dimanfaatkan. Hanya saja keraguan dan rasa frustrasi membuat Anda merasa tidak memiliki apa apa, bahkan merasa tidak berdaya. Karena itu, agar tidak tersesat, ubah cara berpikir Anda! Patok sesuatu sebagai tujuan dan bunuh rasa takut gagal. Berprasangka baiklah kepada Allah. Semua pemberian Allah itu baik buat kita. Allah akan menolong usaha kita.
Tahukah Anda, sebenarnya peran potensi dalam keberhasilan seseorang dalam menekuni pekerjaannya tidaklah terlalu besar! Saat ini orang lebih banyak membicarakan kuatnya motivasi, memadainya kompetensi, dan uletnya usaha sebagai kunci keberhasilan. Bukan potensi.
Memang, potensi berperan dalam memperoleh kompetensi. Tapi, sebenarnya sulit membedakan potensi dari kompetensi. Misalnya kecerdasan. Orang menyebutnya sebagai potensi untuk dapat menguasi pengetahuan. Namun, kemampuan menganalisis, mengenali masalah, dan mengembangkan alternatif penyelesaian masalah adalah kompetensi berpikir. Kompetensi berpikir sering juga disebut sebagai kecerdasan dan kreativitas. Jadi, kecerdasan dan kreativitas adalah potensi, dan ada kalanya disebut kompetensi.
Nah, sekarang kita lupa soal perbedaan potensi dan kompetensi. Sebaiknya, kita mulai dengan mengubah cara berpikir. Kalau biasanya Anda memulai dari “apa yang saya miliki”, saat ini pakai "apa yang bisa saya capai dengan modal ini". Jadi, pertanyaanya berubah. Bukan lagi "apa potensi saya". Tapi, “apa yang ingin saya raih dan modal apa yang harus saya usahakan untuk mencapai itu”.
Itulah langkah pertama Anda untuk mengembangkan diri. Dengan cara pikir demikian, Anda akan memiliki arah kemana Anda akan berkembang. Anda pun akan dapat memastikan hal apa yang harus Anda kembangkan dalam diri Anda.
Selanjutnya, buat daftar kompetensi yang harus Anda miliki. Sebagai contoh, Anda telah memastikan ingin jadi penulis, maka langkah selanjutnya daftar sejumlah kompetensi yang harus Anda miliki. Kira-kira seperti ini: keluasan wawasan, kepekaan terhadap masalah yang terhadir di masyarakat, kekayaan kosa kata, kreativitas, dan penguasaan teknik menulis.
Tentu saja kompetensi itu tidak melulu bersifat pemikiran dan intelektual. Bisa juga kepribadian, Misalnya, kepemimpinan, cara berkomunikasi, atau kemampuan bekerja sama.
Jika Anda telah punya daftarnya, kini mulailah beraksi! Artinya, Anda harus punya program meraihnya. Misalnya, membaca satu buku dalam seminggu, ikuti seminar, diskusi, dan workshop menulis. Yang aksi paling penting adalah mulai mengirim tulisan ke penerbit seperti apa pun hasil tulisan Anda. Sebab, bagi penulis pemula inilah proses quantum learning.
Kalau itu sudah Anda lakukan, siapkanlah dada yang lapang. Syukuri setiap kemajuan yang diperoleh, sekecil apa pun kadarnya. Karena, itu adalah karunia Allah. Ingat, semakin Anda bersyukur, Allah akan menambahkan karuniaNya. Terakhir, sebagai bahan renungan, sebenarnya apa yang ingin Anda gapai dengan bersusah payah mengembangkan potensi diri? Semoga tidak sekadar ingin meraih materi.
Lemah jiwa
Masalah futur (kemalasan beribadah) dan syirah (ke”rakus”an beribadah) adalah sunnatullah fil hayah (sunnatullah dalam kehidupan). Walaupun tensi semangat ibadah kita naik turun, kita harus tetap komitmen pada petunjuk Rasulullah saw., yaitu berusaha untuk tidak berlebih-lebihan dalam beramal dan jangan sampai turun level kepada hal-hal yang makruh, apalagi haram.
Dalam suatu hadits Rasulullah saw, "Mukmin yang kuat itu lebih baik dan lebih dicintai Allah swt. daripada mukmin yang lemah, dan pada masing-masing mukmin ada kebaikan. Bersemangatlah pada apa saja yang bermanfaat bagimu, dan meminta tolonglah kepada Allah swt, dan jangan merasa tidak mampu. Jika ada musibah menimpamu janganlah berkata, "Kalau saja saya melakukan perbuatan ini, niscaya saya tidak tertimpa ini," akan tetapi katakanlah, “Qadar,Allah, dan apa yang dikehendaki-Nya niscaya Dia laksanakan,” sebab, “kalau saja-kalau saja" itu membuka pekerjaan hagi syetan. (HR.Muslim).
Hadits Rasulullah saw ini mengajarkan kepada kita beberapa hal:
1. Dalam rangka menyemangati kita untuk menjadi mukmin yang kuat, Rasulullah saw. menjelaskan bahwa mukmin yang kuat itu “lebih haik”, baik menurut sudut pandang materi maupun non-materi, manusiawi ataupun lainnya. Bahkan bukan hanya “lebih baik", akan tetapi, ini yang lebih menarik, yaitu: lebih dicintai Allah swt.
2. Kekuatan yang dimaksud dalam hadits Rasulullah saw ini mencakup kekuatan apa saja, kekuatan iman, amal, kejiwaan, intelektualitas, fisik, mental, ruhani, jasadi, moral, dan kekuatan sosial.
3. Dalam hadits ini pula Rasulullah saw menjelaskan kepada kita kiat-kiat agar kita menjadi mukmin yang kuat, yaitu:
a. Terhadap segala hal yang bermanfaat bagi kita, kita harus hirsh (bersemangat, bahkan “berambisi”). Apa saja yang bermanfaat itu, baik manfaat untuk fisik, ruhani, intelektualita, masa depan, dan rumah tangga kita. Intinya, kita harus menjadi manusia yang harish terhadap segala hal yang bermanfaat.
b. Kita harus membuang jauh-jauh segala bentuk ‘ajz (rasa tidak mampu, tidak berdaya, dan tidak bisa berbuat apa-apa). Kita harus katakan dan nyatakan pada diri kita bahwa kita mampu, insya Allah, dan dengan seijin-Nya.
c. Namun demikian kita tidak boleh terlalu ”pede” dan sok pada kemampuan sendiri. Ingatlah: laa haula wa laa quwwata illa biLlah. Karenanya, dalam membangun kekuatan diri itu, dan dalam upaya membuang jauh-jauh segala bentuk ‘ajz tadi, kita harus meminta tolong kepada Allah swt. Allah swt berfirman: “Jika Allah swt memberikan pertolongan kepada kalian, maka tiada siapapun mampu mengalahkan kalian, dan siapa saja yang Allah swt biarkan tanpa Dia beri pertolongan, siapa orangnya yang bisa memberi pertolongan kepadamu selain Allah swt?" (Qs Ali Imran: 160).
4. Salah satu fenomena kelemahan manusia yang tidak seharusnya ada adalah jika ia tertimpa suatu musibah, ia ratapi musibah itu dengan mengatakan, "Kalau saja saya berbuat begini, niscaya tidak terjadi seperti ini” dan semacamnya. Bentuk-bentuk kelemahan, ratapan dan ketidak berdayaan seperti ini harus kita buang jauh-jauh.
5. Sebagai gantinya, kita harus perkuat keimanan kita dengan menyatakan dan mengatakan: "Sudah taqdir Allah, dan apa yang dikehendaki-Nya akan Dia laksanakan”.
Ibnul Qayvim rahimahullah pernah menyatakan di dalam kitab Syifa’ul ’Alil halaman 274 dst, ”Diantara penyakit hati yang terbesar adalah masuknya berbagai bentuk kesedihan ke dalam hati, ada kesedihan yang disebut al-hamm, yaitu kesedihan yang muncul akibat memprediksikan sesuatu yang tidak disukai dimasa depan. Ada kesedihan yang disebut al-huzn yaitu kesedihan yang timbul akibat meratapi sesuatu yang terjadi di masa lampau. Ada pula kesedihan yang disebut al-ghamm, yaitu kesedihan yang muncul karena mengingat dan merasakan sesuatu yang tidak dia sukai yang terjadi saat itu. Banyak orang mengeluarkan berbagai resep untuk mengobati penyakit hati yang besar ini. Rata-rata manusia mengobatinya dengan lahwun (aktifitas yang tidak bermanfaat), la’ib (permainan), ghina’ (lagu dan nyayian) dan sama’ul muthribat (mendengarkan hal-hal yang menggembirakan, misalnya nonton lawak). Semua ini tidaklah mampu mengobati penyakit hati, bahkan semakin menambah sakit hati tersebut. Akan tetapi obatnya adalah do’a dan dzikir dari Rasulullah Saw berikut, ”Ya Allah, sesungguhnya aku adalah hamba lelaki-Mu, putra hamba lelaki-Mu, putra hamba perempuan-Mu, ubun-ubunke ada dalam genggaman-Mu, padaku berjalan hukum-Mu, dan keputusanmu padaku adil adanya. Aku memohon kepada-Mu dengan semua nama yang Engkau miliki, yang Engkau namai diri-Mu dengan nama itu atau yang telah engkau ajarkan kepada salah seorang makhluq-Mu, atau telah Engkau turunkan pada kitab-Mu atau masih Engkau simpan pada ilmu ghaib disisi-Mu, jadikanlah Al-Qur’an sebagai penyiram hatiku dan cahaya dadaku serta sirnanya kesedihan dan kegundahan hatiku.”
Inti dari obat berbagai kesedihan tadi adalah susunan komponen berikut, semakin lengkap komponennya, semakin ampuh khasiatnya:
1. Tauhidullah meng-Esakan Allah swt, serta tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun.
2. Istightar dan memohon ampunan kepada-Nya.
3. Taubat dan pengakuan atas penghambaan kita kepada Allah swt (sebagaimana digambarkan pada awal do’a tadi).
4. Penga’kuan bahwa dirinya berada pada kehendak penuh Allah swt, baik kehendak kauni (yang tidak bisa tidak, harus menerima), maupun kehendak syar’i (yang kita harus dengan sukarela menerima hukum dan syari’at Allah swt).
5. Pengakuan bahwa segala yang Allah swt perbuat atas dirinya adalah adil adanya.
6. Menjadikan Al Qur’an sebagai penyiram dan penerang hati, yaitu penghilang berbagai kesedihan.
Semoga Allah swt menjadikan kita semua orang-orang yang memenuhi kriteria-kriteria ini, amin ya robbal ’alamin.
Dalam suatu hadits Rasulullah saw, "Mukmin yang kuat itu lebih baik dan lebih dicintai Allah swt. daripada mukmin yang lemah, dan pada masing-masing mukmin ada kebaikan. Bersemangatlah pada apa saja yang bermanfaat bagimu, dan meminta tolonglah kepada Allah swt, dan jangan merasa tidak mampu. Jika ada musibah menimpamu janganlah berkata, "Kalau saja saya melakukan perbuatan ini, niscaya saya tidak tertimpa ini," akan tetapi katakanlah, “Qadar,Allah, dan apa yang dikehendaki-Nya niscaya Dia laksanakan,” sebab, “kalau saja-kalau saja" itu membuka pekerjaan hagi syetan. (HR.Muslim).
Hadits Rasulullah saw ini mengajarkan kepada kita beberapa hal:
1. Dalam rangka menyemangati kita untuk menjadi mukmin yang kuat, Rasulullah saw. menjelaskan bahwa mukmin yang kuat itu “lebih haik”, baik menurut sudut pandang materi maupun non-materi, manusiawi ataupun lainnya. Bahkan bukan hanya “lebih baik", akan tetapi, ini yang lebih menarik, yaitu: lebih dicintai Allah swt.
2. Kekuatan yang dimaksud dalam hadits Rasulullah saw ini mencakup kekuatan apa saja, kekuatan iman, amal, kejiwaan, intelektualitas, fisik, mental, ruhani, jasadi, moral, dan kekuatan sosial.
3. Dalam hadits ini pula Rasulullah saw menjelaskan kepada kita kiat-kiat agar kita menjadi mukmin yang kuat, yaitu:
a. Terhadap segala hal yang bermanfaat bagi kita, kita harus hirsh (bersemangat, bahkan “berambisi”). Apa saja yang bermanfaat itu, baik manfaat untuk fisik, ruhani, intelektualita, masa depan, dan rumah tangga kita. Intinya, kita harus menjadi manusia yang harish terhadap segala hal yang bermanfaat.
b. Kita harus membuang jauh-jauh segala bentuk ‘ajz (rasa tidak mampu, tidak berdaya, dan tidak bisa berbuat apa-apa). Kita harus katakan dan nyatakan pada diri kita bahwa kita mampu, insya Allah, dan dengan seijin-Nya.
c. Namun demikian kita tidak boleh terlalu ”pede” dan sok pada kemampuan sendiri. Ingatlah: laa haula wa laa quwwata illa biLlah. Karenanya, dalam membangun kekuatan diri itu, dan dalam upaya membuang jauh-jauh segala bentuk ‘ajz tadi, kita harus meminta tolong kepada Allah swt. Allah swt berfirman: “Jika Allah swt memberikan pertolongan kepada kalian, maka tiada siapapun mampu mengalahkan kalian, dan siapa saja yang Allah swt biarkan tanpa Dia beri pertolongan, siapa orangnya yang bisa memberi pertolongan kepadamu selain Allah swt?" (Qs Ali Imran: 160).
4. Salah satu fenomena kelemahan manusia yang tidak seharusnya ada adalah jika ia tertimpa suatu musibah, ia ratapi musibah itu dengan mengatakan, "Kalau saja saya berbuat begini, niscaya tidak terjadi seperti ini” dan semacamnya. Bentuk-bentuk kelemahan, ratapan dan ketidak berdayaan seperti ini harus kita buang jauh-jauh.
5. Sebagai gantinya, kita harus perkuat keimanan kita dengan menyatakan dan mengatakan: "Sudah taqdir Allah, dan apa yang dikehendaki-Nya akan Dia laksanakan”.
Ibnul Qayvim rahimahullah pernah menyatakan di dalam kitab Syifa’ul ’Alil halaman 274 dst, ”Diantara penyakit hati yang terbesar adalah masuknya berbagai bentuk kesedihan ke dalam hati, ada kesedihan yang disebut al-hamm, yaitu kesedihan yang muncul akibat memprediksikan sesuatu yang tidak disukai dimasa depan. Ada kesedihan yang disebut al-huzn yaitu kesedihan yang timbul akibat meratapi sesuatu yang terjadi di masa lampau. Ada pula kesedihan yang disebut al-ghamm, yaitu kesedihan yang muncul karena mengingat dan merasakan sesuatu yang tidak dia sukai yang terjadi saat itu. Banyak orang mengeluarkan berbagai resep untuk mengobati penyakit hati yang besar ini. Rata-rata manusia mengobatinya dengan lahwun (aktifitas yang tidak bermanfaat), la’ib (permainan), ghina’ (lagu dan nyayian) dan sama’ul muthribat (mendengarkan hal-hal yang menggembirakan, misalnya nonton lawak). Semua ini tidaklah mampu mengobati penyakit hati, bahkan semakin menambah sakit hati tersebut. Akan tetapi obatnya adalah do’a dan dzikir dari Rasulullah Saw berikut, ”Ya Allah, sesungguhnya aku adalah hamba lelaki-Mu, putra hamba lelaki-Mu, putra hamba perempuan-Mu, ubun-ubunke ada dalam genggaman-Mu, padaku berjalan hukum-Mu, dan keputusanmu padaku adil adanya. Aku memohon kepada-Mu dengan semua nama yang Engkau miliki, yang Engkau namai diri-Mu dengan nama itu atau yang telah engkau ajarkan kepada salah seorang makhluq-Mu, atau telah Engkau turunkan pada kitab-Mu atau masih Engkau simpan pada ilmu ghaib disisi-Mu, jadikanlah Al-Qur’an sebagai penyiram hatiku dan cahaya dadaku serta sirnanya kesedihan dan kegundahan hatiku.”
Inti dari obat berbagai kesedihan tadi adalah susunan komponen berikut, semakin lengkap komponennya, semakin ampuh khasiatnya:
1. Tauhidullah meng-Esakan Allah swt, serta tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun.
2. Istightar dan memohon ampunan kepada-Nya.
3. Taubat dan pengakuan atas penghambaan kita kepada Allah swt (sebagaimana digambarkan pada awal do’a tadi).
4. Penga’kuan bahwa dirinya berada pada kehendak penuh Allah swt, baik kehendak kauni (yang tidak bisa tidak, harus menerima), maupun kehendak syar’i (yang kita harus dengan sukarela menerima hukum dan syari’at Allah swt).
5. Pengakuan bahwa segala yang Allah swt perbuat atas dirinya adalah adil adanya.
6. Menjadikan Al Qur’an sebagai penyiram dan penerang hati, yaitu penghilang berbagai kesedihan.
Semoga Allah swt menjadikan kita semua orang-orang yang memenuhi kriteria-kriteria ini, amin ya robbal ’alamin.
Dengarkan suara hati !
Adakah yang lebih bening dari suara hati, kala ia menegur kita tanpa suara. Adakah yang lebih jujur dari nurani, saat ia menyadarkan kita tanpa kata-kata. Adakah yang lebih tajam dari mata hati, ketika ia menghentak kita dari beragam kesalahan dan alpa. Ya, sebenarnya saat yang paling indah dari seluruh putaran kehidupan ini adalah saat kita mampu secara jujur dan tulus mendengar suara hati.
Sebab, dari sanalah banyak tindakan dan perilaku kita menemukan arahnya yang benar. Dari sana amal-amal dan segala proses kehidupan kita memiliki pijakannya yang kokoh: niat dan orientasi yang lurus. Begitulah Rasulullah menggambarkan, bahwa hati adalah panglima. Bila ia benar dan sehat, sehat pula seluruh aktifitas fisik pemiliknya. Sebaliknya, bila ia rusak, rusak pula segala tingkah laku fisiknya.
Di dalam hati kita, di dasar sanubari kita yang paling dalam, ada kekuatan yang sangat perkasa, sekaligus sumber kedamaian yang tiada tara. Di sanalah bersemayam fitrah dan jati diri ketundukan kita – juga setiap manusia – kepada Allah swt. Setiap manusia sejak kali pertama ditakdirkan ada, telah diikat dengan kepatuhan kepada tauhid, mengesakan Allah yang Maha Esa. Allah swt berfirman, “Dan (ingat-lah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.” (Qs. Al-A’raf: 172).
Fitrah kemusliman atau ketundukan itu merupakan warna asli dari keseluruhan tabiat fisik dan psikis kita. Fitrah, yang dengannya rnanusia dititahkan, memberi kita sensor diri dan pelita penerang jalan. Dalam batasan kemanusiaan, petunjuk itu diberikan oleh suara hati nurani yang jujur. Dalam suatu kesempatan, Rasulullah pernah mengajarkan kepada seorang sahabat bagaimana cara sederhana menentukan sesuatu itu baik atau buruk; “istafti qalbaka”, mintalah fatwa kepada hatimu. Atau dalam kesempatan yang lain ia mengatakan, bahwa barangsiapa yang amal baiknya membuat hatinya suka, dan amal buruknya membuat ia gelisah maka dia itu muslim.
Artinya, dalam banyak hal, semestinya orang bisa bertanya kepada hati nuraninya apakah sesuatu itu baik atau buruk. Manusia diberi kemampuan untuk mengetahui secara standar apa saja yang layak atau tidak untuk dijalani. Manusia punya ukuran kepatutan kemanusiaan-nya. "Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.” (Qs. Asy-syams: , Karenanya, manusia bila pun tidak mengerti banyak tentang ajaran wahyu Allah, semestinya ia masih bisa mendengar secara tulus apa suara hati nuraninya.
Tetapi kebesaran dan sekaligus kesulitan manusia terletak pada haknya untuk memilih antara benar dan salah, berdasarkan ilham itu. Maka Allah tidak saja mencukupkan kita dengan hati nurani. Pada saat yang sama Ia menurunkan wahyu serta mengutus para Rasul untuk mengajari manusia bagaimana mengelola insting-insting dasarnya, sekaligus mempertajam hati nuraninya. Di sanalah berpadu antara kelurusan tujuan, dengan dasar-dasar tabiat kemanusiaan. Melalui Al-Qur’an, Islam membimbing manusia bagaimana menitik-beratkan pada hasrat hidup bermakna (the will to meaning) sebagai motif asasi. Dengan kata lain, kita harus menjalani hidup ini dengan makna yang jelas, dengan rasa berarti yang sebenar-benarnya. Teori ini amat berlawanan arab dengan teori “hasrat untuk hidup senang" (the will to pleasure) model Freudian, maupun teori “hasrat hidup berkuasa” (the will to power) yang digaungkan Alfred Adler.
Konsistensi, stabilitas, ketenangan, kedamaian, juga kebahagiaan manusia, berbanding lurus dengan sejauh mana ia menyelaraskan diri dengan fitrahnya serta menghadapkan wajahnya ke jalan Islam. Bila manusia menyalahinya, akan menjadikan banyak unsur dalam kehidupan ini tidak bisa berfungsi dengan baik. Akan ada banyak ketimpangan dan kejanggalan. Kehidupan tidak berjalan di atas rel yang semestinya. Allah swt berfirman, “Dan barang-siapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh. Dan hanya kepada Allah-lah kesudahan segala urusan." (Qs. Luqman: 22).
Fitrah yang telah ditetapkan atas diri manusia itu tidak akan berubah. Apapun peradaban dan kemajuan yang telah dicapai manusia. "Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah), (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah Allah itu. Tidak ada penambahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui." (Qs. Ar-Ruum; 30).
Seringkali suara hati nyaris tak terdengar, lantaran tersumbat oleh daki-daki hawa nafsu. Atau terselimuti dosa-dosa dan kemaksiatan. Mungkin, di antara kita pernah menjumpai hari-hari yang terasa gersang, kering, dan tak ada setetes pun kesegaran. Hidup seperti tak berdenyut dan nyaris tanpa gairah. Begitulah hati menjadi air muka kita, pahit atau manisnya. Ia juga menjadi ruh kehidupan kita, redup atau terangnya. Dalam makna ini, barangkali, kita menghayati penjelasan Rasulullah, bahwa Allah tidak melihat kepada tampilan lahiriah manusia, tetapi melihat kepada isi hati mereka.
Maka, mengotori hati dengan dosa, sama artinya dengan memadamkan cahayanya, mengacaukan jernih suaranya, dan memandulkan ketajamannya. Seperti ditegaskan Rasulullah saw, “Sesungguhnya, dosa-dosa itu bila terus menerus menimpa hati, maka ia akan menutupinya. Dan bila hati telah tertutup, akan datang kunci dan cap dari Allah swt. Bila sudah demikian, tak ada lagi baginya jalan, tidak ada jalan keimanan untuk masuk ke dalamnya, tidak juga jalan kekafiran untuk keluar darinya."
Tidak semua orang bisa mendengar suara hatinya. Banyak orang silau dengan kehidupan yang kian berwarna. Padahal, kebersihan hati tidak saja pelita di dunia, tapi juga bekal menghadap Allah swt. Kelak, ketika manusia diadili di hadapan Allah swt, pada hari ketika anak dan harta tidak berguna, hanya hati yang bersihlah yang bisa mengantarkan manusia menghadap Allah, “Kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih." (Qs. Asy-Syu’ara: 89).
Saatnya kita sesering mungkin mendengarkan suara hati, dengan tulus, jujur dan penuh kelapangan. Suara hati kita, nurani kita, kata hati kita, adalah jati diri keaslian kita. Akankah kita mengkhianatinya? –wallahu’alam-
Sebab, dari sanalah banyak tindakan dan perilaku kita menemukan arahnya yang benar. Dari sana amal-amal dan segala proses kehidupan kita memiliki pijakannya yang kokoh: niat dan orientasi yang lurus. Begitulah Rasulullah menggambarkan, bahwa hati adalah panglima. Bila ia benar dan sehat, sehat pula seluruh aktifitas fisik pemiliknya. Sebaliknya, bila ia rusak, rusak pula segala tingkah laku fisiknya.
Di dalam hati kita, di dasar sanubari kita yang paling dalam, ada kekuatan yang sangat perkasa, sekaligus sumber kedamaian yang tiada tara. Di sanalah bersemayam fitrah dan jati diri ketundukan kita – juga setiap manusia – kepada Allah swt. Setiap manusia sejak kali pertama ditakdirkan ada, telah diikat dengan kepatuhan kepada tauhid, mengesakan Allah yang Maha Esa. Allah swt berfirman, “Dan (ingat-lah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.” (Qs. Al-A’raf: 172).
Fitrah kemusliman atau ketundukan itu merupakan warna asli dari keseluruhan tabiat fisik dan psikis kita. Fitrah, yang dengannya rnanusia dititahkan, memberi kita sensor diri dan pelita penerang jalan. Dalam batasan kemanusiaan, petunjuk itu diberikan oleh suara hati nurani yang jujur. Dalam suatu kesempatan, Rasulullah pernah mengajarkan kepada seorang sahabat bagaimana cara sederhana menentukan sesuatu itu baik atau buruk; “istafti qalbaka”, mintalah fatwa kepada hatimu. Atau dalam kesempatan yang lain ia mengatakan, bahwa barangsiapa yang amal baiknya membuat hatinya suka, dan amal buruknya membuat ia gelisah maka dia itu muslim.
Artinya, dalam banyak hal, semestinya orang bisa bertanya kepada hati nuraninya apakah sesuatu itu baik atau buruk. Manusia diberi kemampuan untuk mengetahui secara standar apa saja yang layak atau tidak untuk dijalani. Manusia punya ukuran kepatutan kemanusiaan-nya. "Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.” (Qs. Asy-syams: , Karenanya, manusia bila pun tidak mengerti banyak tentang ajaran wahyu Allah, semestinya ia masih bisa mendengar secara tulus apa suara hati nuraninya.
Tetapi kebesaran dan sekaligus kesulitan manusia terletak pada haknya untuk memilih antara benar dan salah, berdasarkan ilham itu. Maka Allah tidak saja mencukupkan kita dengan hati nurani. Pada saat yang sama Ia menurunkan wahyu serta mengutus para Rasul untuk mengajari manusia bagaimana mengelola insting-insting dasarnya, sekaligus mempertajam hati nuraninya. Di sanalah berpadu antara kelurusan tujuan, dengan dasar-dasar tabiat kemanusiaan. Melalui Al-Qur’an, Islam membimbing manusia bagaimana menitik-beratkan pada hasrat hidup bermakna (the will to meaning) sebagai motif asasi. Dengan kata lain, kita harus menjalani hidup ini dengan makna yang jelas, dengan rasa berarti yang sebenar-benarnya. Teori ini amat berlawanan arab dengan teori “hasrat untuk hidup senang" (the will to pleasure) model Freudian, maupun teori “hasrat hidup berkuasa” (the will to power) yang digaungkan Alfred Adler.
Konsistensi, stabilitas, ketenangan, kedamaian, juga kebahagiaan manusia, berbanding lurus dengan sejauh mana ia menyelaraskan diri dengan fitrahnya serta menghadapkan wajahnya ke jalan Islam. Bila manusia menyalahinya, akan menjadikan banyak unsur dalam kehidupan ini tidak bisa berfungsi dengan baik. Akan ada banyak ketimpangan dan kejanggalan. Kehidupan tidak berjalan di atas rel yang semestinya. Allah swt berfirman, “Dan barang-siapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh. Dan hanya kepada Allah-lah kesudahan segala urusan." (Qs. Luqman: 22).
Fitrah yang telah ditetapkan atas diri manusia itu tidak akan berubah. Apapun peradaban dan kemajuan yang telah dicapai manusia. "Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah), (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah Allah itu. Tidak ada penambahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui." (Qs. Ar-Ruum; 30).
Seringkali suara hati nyaris tak terdengar, lantaran tersumbat oleh daki-daki hawa nafsu. Atau terselimuti dosa-dosa dan kemaksiatan. Mungkin, di antara kita pernah menjumpai hari-hari yang terasa gersang, kering, dan tak ada setetes pun kesegaran. Hidup seperti tak berdenyut dan nyaris tanpa gairah. Begitulah hati menjadi air muka kita, pahit atau manisnya. Ia juga menjadi ruh kehidupan kita, redup atau terangnya. Dalam makna ini, barangkali, kita menghayati penjelasan Rasulullah, bahwa Allah tidak melihat kepada tampilan lahiriah manusia, tetapi melihat kepada isi hati mereka.
Maka, mengotori hati dengan dosa, sama artinya dengan memadamkan cahayanya, mengacaukan jernih suaranya, dan memandulkan ketajamannya. Seperti ditegaskan Rasulullah saw, “Sesungguhnya, dosa-dosa itu bila terus menerus menimpa hati, maka ia akan menutupinya. Dan bila hati telah tertutup, akan datang kunci dan cap dari Allah swt. Bila sudah demikian, tak ada lagi baginya jalan, tidak ada jalan keimanan untuk masuk ke dalamnya, tidak juga jalan kekafiran untuk keluar darinya."
Tidak semua orang bisa mendengar suara hatinya. Banyak orang silau dengan kehidupan yang kian berwarna. Padahal, kebersihan hati tidak saja pelita di dunia, tapi juga bekal menghadap Allah swt. Kelak, ketika manusia diadili di hadapan Allah swt, pada hari ketika anak dan harta tidak berguna, hanya hati yang bersihlah yang bisa mengantarkan manusia menghadap Allah, “Kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih." (Qs. Asy-Syu’ara: 89).
Saatnya kita sesering mungkin mendengarkan suara hati, dengan tulus, jujur dan penuh kelapangan. Suara hati kita, nurani kita, kata hati kita, adalah jati diri keaslian kita. Akankah kita mengkhianatinya? –wallahu’alam-
Persiapan menghadapi kegagalan
Kegagalan memang resiko dari sebuah usaha dan kekecewaan adalah resiko dari keinginan. Kegagalan dan kekecewaan itu jelas pahit. Malangnya lagi kemungkinan terjadinya kegagalan atau keberhasilan adalah sama yaitu 50 = 50. Jadi setiap kita pasti pernah mengalami kegagalan dan kekecewaan ini dan dimasa yang akan datang kenyataan ini akan berulang lagi. Lalu siapkah kita menghadapinya dan bagaimana caranya agar kegagalan itu tak membawa keperihan yang berkepanjangan?
Sebenarnya ada tiga tipe penyebab kegagalan. Dua dari ketiga tipe ini adalah akibat kesalahan kita sendiri, yaitu kelemahan perencanaan dan rendahnya komitmen pelaksanaan. Kemudian yang ketiga adalah penyebab yang di luar dugaan.
Kelemahan perencanaan adalah penyebab kegagalan yang pertama. Ini terjadi akibat tidak realistisnya keinginan kita dan karena kurangnya penguasaan terhadap masalah yang berkaitan dengan keinginan tersebut. Ketidakrealistisan itu mencakup target yang ingin dicapai dan waktu pencapainnya. Ambil contoh: seorang yang baru saja menyelesaikan pendidikan kesarjanaan, langsung berkeinginan untuk melamar kerja di sebuah perusahaan besar sebagai seorang manajer. Tentu Anda tersenyum membaca keinginan orang tersebut, karena Anda paham bahwa untuk menjadi seorang manajer di perusahaan besar dibutuhkan pengalaman kerja bertahun-tahun dan orang yang baru lulus kuliah akan sangat sulit meraih posisi tersebut. Tapi, sadarkah kita bahwa sekali waktu kita pernah melakukan hal yang sama! “Kita harus optimis.” Kilah Anda.
Kurangnya penguasaan masalah menyebabkan kita tak mengetahui apa yang mesti dilakukan untuk mencapai keinginan atau kita salah memilih langkah. Saat ini orang lebih tertarik untuk memperdalam kiat dari pada mencoba memahami persoalan lebih mendalam. Orang banyak bertanya tentang: Bagaimana sih kiat menjadi pengusaha yang sukses tanpa berusaha memahami seluk beluk dunia usaha.
Rendahnya komitmen pelaksanaan merupakan salah satu penyebab terjadinya kegagalan. Rencana hanya tinggal di atas kertas sedang apa yang kita lakukan adalah rutinitas. Bagaimana kita akan memperoleh keinginan kita, jika yang kita lakukan bukan hal-hal yang berkaitan langsung dengan keinginan kita tersebut.
Penyebab kegagalan ketiga adalah hal-hal yang di luar kekuasaan kita. Kita pahami bahwa kehidupan kita ini tak semata tergantung pada apa yang kita lakukan. Kita akan sangat terpengaruh dengan apa-apa yang terjadi di sekitar kita. Misalnya, seorang petani yang telah bekerja keras dan hampir panen, tiba-tiba harus kecewa karena diserang hama atau banjir.
Kegagalan, bagaimanapun juga akan membawa kepedihan di hati kita. Kita mungkin akan merasa sedih, frustrasi, tak berdaya atau bahkan mengalami depresi. Jika kepedihan itu terlalu berat Anda rasakan, Anda akan merasa takut untuk memulai kembali usaha tersebut. Anda merasa diri Anda terlalu bodoh dan tak berguna. Itu jelas berpengaruh buruk bagi kehidupan Anda di masa datang. Anda bisa jadi sangat pasif atau mungkin melakukan hal-hal yang destruktif lainnya.
Untuk mencegah kepedihan yang terlalu mendalam, ada baiknya Anda memiliki kesiapan untuk menghadapi kegagalan dengan memperhatikan poin-poin berikut:
1. Menyadari betul bahwa kegagalan merupakan resiko dari bentuk usaha apa pun. Kesadaran ini menyebabkan kita mempunyai ruang untuk dapat menerima kegagalan. Jangan pernah tanamkan dalam diri Anda bahwa usaha Anda akan seratus persen berhasil. Harus selalu ada ruang untuk menerima kegagalan di awal usaha Anda.
2. Menyadari bahwa setiap kegagalan pasti ada penyebabnya. Dengan kesadaran ini mendorong kita untuk mencari penyebab kegagalan ketimbang menyesalinya. Di atas telah dikemukan tiga hal penyebab kegagalan. Dari sini Anda dapat kembali mengevaluasi diri sendiri. Inilah yang membuat kita lebih matang setelah mengalami kegagalan. Kita mungkin akan sadar bahwa keinginan kita selama ini tak realistis atau kita kurang memiliki komitmen kerja atau kita akan bertambah keimanan kepada Allah bahwa Dia lah yang Maha mengatur segala sesuatu.
3. Jangan menghukum diri terlalu berat. Memang sebagian besar penyebab kegagalan adalah akibat kelemahan diri kita sendiri. Tapi cobalah lihat kelemahan itu dengan lapang hati, kita bukanlah makhluk yang serba bisa dan serba tahu. Kegagalan sebaiknya kita gunakan untuk mengetahui secara spesifik titik kelemahan kita dan langkah awal untuk melakukan perbaikan.
4. Jangan bohongi diri Anda dengan angan-angan, dan tak mau mengakui kegagalan. Anda boleh mempunyai keinginan memiliki Indeks Prestasi 3,5 di perkuliahan, namun terimalah kenyataan jika Anda tak berhasil mencapainya di akhir semester. Tak perlu Anda menghapus nilai di lembar hasil studi Anda dan menggantinya dengan yang Anda inginkan. Penipuan diri sendiri semacam itu justru membuat Anda lebih tertekan dan merasa tak tenang. Wallahu’alam bishawab.
Sebenarnya ada tiga tipe penyebab kegagalan. Dua dari ketiga tipe ini adalah akibat kesalahan kita sendiri, yaitu kelemahan perencanaan dan rendahnya komitmen pelaksanaan. Kemudian yang ketiga adalah penyebab yang di luar dugaan.
Kelemahan perencanaan adalah penyebab kegagalan yang pertama. Ini terjadi akibat tidak realistisnya keinginan kita dan karena kurangnya penguasaan terhadap masalah yang berkaitan dengan keinginan tersebut. Ketidakrealistisan itu mencakup target yang ingin dicapai dan waktu pencapainnya. Ambil contoh: seorang yang baru saja menyelesaikan pendidikan kesarjanaan, langsung berkeinginan untuk melamar kerja di sebuah perusahaan besar sebagai seorang manajer. Tentu Anda tersenyum membaca keinginan orang tersebut, karena Anda paham bahwa untuk menjadi seorang manajer di perusahaan besar dibutuhkan pengalaman kerja bertahun-tahun dan orang yang baru lulus kuliah akan sangat sulit meraih posisi tersebut. Tapi, sadarkah kita bahwa sekali waktu kita pernah melakukan hal yang sama! “Kita harus optimis.” Kilah Anda.
Kurangnya penguasaan masalah menyebabkan kita tak mengetahui apa yang mesti dilakukan untuk mencapai keinginan atau kita salah memilih langkah. Saat ini orang lebih tertarik untuk memperdalam kiat dari pada mencoba memahami persoalan lebih mendalam. Orang banyak bertanya tentang: Bagaimana sih kiat menjadi pengusaha yang sukses tanpa berusaha memahami seluk beluk dunia usaha.
Rendahnya komitmen pelaksanaan merupakan salah satu penyebab terjadinya kegagalan. Rencana hanya tinggal di atas kertas sedang apa yang kita lakukan adalah rutinitas. Bagaimana kita akan memperoleh keinginan kita, jika yang kita lakukan bukan hal-hal yang berkaitan langsung dengan keinginan kita tersebut.
Penyebab kegagalan ketiga adalah hal-hal yang di luar kekuasaan kita. Kita pahami bahwa kehidupan kita ini tak semata tergantung pada apa yang kita lakukan. Kita akan sangat terpengaruh dengan apa-apa yang terjadi di sekitar kita. Misalnya, seorang petani yang telah bekerja keras dan hampir panen, tiba-tiba harus kecewa karena diserang hama atau banjir.
Kegagalan, bagaimanapun juga akan membawa kepedihan di hati kita. Kita mungkin akan merasa sedih, frustrasi, tak berdaya atau bahkan mengalami depresi. Jika kepedihan itu terlalu berat Anda rasakan, Anda akan merasa takut untuk memulai kembali usaha tersebut. Anda merasa diri Anda terlalu bodoh dan tak berguna. Itu jelas berpengaruh buruk bagi kehidupan Anda di masa datang. Anda bisa jadi sangat pasif atau mungkin melakukan hal-hal yang destruktif lainnya.
Untuk mencegah kepedihan yang terlalu mendalam, ada baiknya Anda memiliki kesiapan untuk menghadapi kegagalan dengan memperhatikan poin-poin berikut:
1. Menyadari betul bahwa kegagalan merupakan resiko dari bentuk usaha apa pun. Kesadaran ini menyebabkan kita mempunyai ruang untuk dapat menerima kegagalan. Jangan pernah tanamkan dalam diri Anda bahwa usaha Anda akan seratus persen berhasil. Harus selalu ada ruang untuk menerima kegagalan di awal usaha Anda.
2. Menyadari bahwa setiap kegagalan pasti ada penyebabnya. Dengan kesadaran ini mendorong kita untuk mencari penyebab kegagalan ketimbang menyesalinya. Di atas telah dikemukan tiga hal penyebab kegagalan. Dari sini Anda dapat kembali mengevaluasi diri sendiri. Inilah yang membuat kita lebih matang setelah mengalami kegagalan. Kita mungkin akan sadar bahwa keinginan kita selama ini tak realistis atau kita kurang memiliki komitmen kerja atau kita akan bertambah keimanan kepada Allah bahwa Dia lah yang Maha mengatur segala sesuatu.
3. Jangan menghukum diri terlalu berat. Memang sebagian besar penyebab kegagalan adalah akibat kelemahan diri kita sendiri. Tapi cobalah lihat kelemahan itu dengan lapang hati, kita bukanlah makhluk yang serba bisa dan serba tahu. Kegagalan sebaiknya kita gunakan untuk mengetahui secara spesifik titik kelemahan kita dan langkah awal untuk melakukan perbaikan.
4. Jangan bohongi diri Anda dengan angan-angan, dan tak mau mengakui kegagalan. Anda boleh mempunyai keinginan memiliki Indeks Prestasi 3,5 di perkuliahan, namun terimalah kenyataan jika Anda tak berhasil mencapainya di akhir semester. Tak perlu Anda menghapus nilai di lembar hasil studi Anda dan menggantinya dengan yang Anda inginkan. Penipuan diri sendiri semacam itu justru membuat Anda lebih tertekan dan merasa tak tenang. Wallahu’alam bishawab.
hati vs nash
Suara hati memang sangat penting. Pendapat apapun yang disampaikan orang terhadap suatu perkara, suara hati tetap harus lebih diutamakan. Karena sejatinya, dialah yang paling jernih menentukan langkah yang benar atau salah.
Ada perkataan Imam Nawawi yang menarik dalam hal ini. “Jika engkau menerima hadiah dari seorang yang hartanya lebih banyak berasal dari yang haram, dan hatimu ragu-ragu untuk memakannya karena ketidakjelasan antara halal dan haramnya makanan tersebut. Kemudian ada seorang mufti (pemberi fatwa) memberi fatwa halal dan tidak melarang memakannya, maka status syubhat dari makanan itu tetap tidak hilang dengan fatwa tersebut." Artinya, meninggalkan makanan tersebut lebih utama dan lebih menenangkan hati, ketimbang mengikuti fatwa namun membuat hati gelisah. Begitulah istimewanya hati.
Apa alasannya? Disebutkan dalam kitab Al-Wafi yang menjelaskan makna hadits Rasulullah dan keterangan Imam Nawawi itu, segala sesuatu yang membawa ketidaktenangan hati adalah dosa, meskipun ada fatwa yang menyebutkannya bukan dosa. Karena para mufti mengeluarkan fatwa berdasarkan masalah yang tampak, bukan masalah yang bersifat batin. Batin seseorang – yang mendapatkan cahaya Allah dalam hatinya – lebih diketahui oleh dirinya sendiri, bukan orang lain. (41-Wafi, 195)
Namun perlu diingat, bahwa penjelasan di atas tidak berarti bahwa apapun suara hati harus dituruti. Tidak selamanya ungkapan hati menjadi pembenaran atas segala perkara. Hati bisa dimintakan fatwa dalam permasalahan yang bersifat umum dan mungkin tidak dijelaskan secara detail perbedaan dan batasannya dalam nash-nash al-Qur’an dan sunnah. Dengan kata lain, suara hati tidak boleh mengalahkan petunjuk dalil yang jelas tertera dalam Al-Qur‘an dan sunnah. Misalnya saja dalam kasus bolehnya berbuka puasa bagi musafir dan orang yang sakit, bolehnya mengqasar – memperpendek jumlah raka’at – shalat dalam perjalanan, dan sebagainya, yang berdiri di atas dalil syar’i yang jelas. “Bila ada fatwa yang jelas berlandaskan dalil syar’i maka wajib setiap muslim untuk mengutamakannya, meskipun hal itu tidak membuat hatinya puas," demikian dijelaskan dalam AI-Wafi.
Allah swt berfirman, "Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu pikirkan dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (Qs. An-Nisa: 65)
Ketundukan dan ketaatan menerima ketentuan Allah yang telah jelas, tetap mendapat kedudukan lebih tinggi dari sekedar fatwa hati. Di sini, hatilah yang justeru harus tunduk pada tuntunan Allah dan Rasul-Nya. Sama halnya ketika Rasulullah saw meminta para sahabat mencukur rambut dan memotong hewan kurban setelah perjanjian Hudaibiyah. Ketika itu, sebagian sahabat berhenti dan enggan melakukan perintah Rasul. Tapi, berkat keikhlasan dan kebersihan hati mereka juga, akhirnya para sahabat menerima perintah Rasulullah dengan lapang dada. Allah berfirman, “Dan tidaklah patut bagi laki-laki mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya dia telah sesat, sesat yang nyata.” (Qs. Al-Ahzab: 36). Wallahu a’lam bishawab.
Ada perkataan Imam Nawawi yang menarik dalam hal ini. “Jika engkau menerima hadiah dari seorang yang hartanya lebih banyak berasal dari yang haram, dan hatimu ragu-ragu untuk memakannya karena ketidakjelasan antara halal dan haramnya makanan tersebut. Kemudian ada seorang mufti (pemberi fatwa) memberi fatwa halal dan tidak melarang memakannya, maka status syubhat dari makanan itu tetap tidak hilang dengan fatwa tersebut." Artinya, meninggalkan makanan tersebut lebih utama dan lebih menenangkan hati, ketimbang mengikuti fatwa namun membuat hati gelisah. Begitulah istimewanya hati.
Apa alasannya? Disebutkan dalam kitab Al-Wafi yang menjelaskan makna hadits Rasulullah dan keterangan Imam Nawawi itu, segala sesuatu yang membawa ketidaktenangan hati adalah dosa, meskipun ada fatwa yang menyebutkannya bukan dosa. Karena para mufti mengeluarkan fatwa berdasarkan masalah yang tampak, bukan masalah yang bersifat batin. Batin seseorang – yang mendapatkan cahaya Allah dalam hatinya – lebih diketahui oleh dirinya sendiri, bukan orang lain. (41-Wafi, 195)
Namun perlu diingat, bahwa penjelasan di atas tidak berarti bahwa apapun suara hati harus dituruti. Tidak selamanya ungkapan hati menjadi pembenaran atas segala perkara. Hati bisa dimintakan fatwa dalam permasalahan yang bersifat umum dan mungkin tidak dijelaskan secara detail perbedaan dan batasannya dalam nash-nash al-Qur’an dan sunnah. Dengan kata lain, suara hati tidak boleh mengalahkan petunjuk dalil yang jelas tertera dalam Al-Qur‘an dan sunnah. Misalnya saja dalam kasus bolehnya berbuka puasa bagi musafir dan orang yang sakit, bolehnya mengqasar – memperpendek jumlah raka’at – shalat dalam perjalanan, dan sebagainya, yang berdiri di atas dalil syar’i yang jelas. “Bila ada fatwa yang jelas berlandaskan dalil syar’i maka wajib setiap muslim untuk mengutamakannya, meskipun hal itu tidak membuat hatinya puas," demikian dijelaskan dalam AI-Wafi.
Allah swt berfirman, "Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu pikirkan dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (Qs. An-Nisa: 65)
Ketundukan dan ketaatan menerima ketentuan Allah yang telah jelas, tetap mendapat kedudukan lebih tinggi dari sekedar fatwa hati. Di sini, hatilah yang justeru harus tunduk pada tuntunan Allah dan Rasul-Nya. Sama halnya ketika Rasulullah saw meminta para sahabat mencukur rambut dan memotong hewan kurban setelah perjanjian Hudaibiyah. Ketika itu, sebagian sahabat berhenti dan enggan melakukan perintah Rasul. Tapi, berkat keikhlasan dan kebersihan hati mereka juga, akhirnya para sahabat menerima perintah Rasulullah dengan lapang dada. Allah berfirman, “Dan tidaklah patut bagi laki-laki mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya dia telah sesat, sesat yang nyata.” (Qs. Al-Ahzab: 36). Wallahu a’lam bishawab.
Istafti qolbak
“Istafti qolbak (mintalah fatwa pada hatimu). Kebaikan itu adalah sesuatu yang membuat jiwa dan hatimu tenang. Sedangkan dosa itu adalah sesuatu yang memunculkan keraguan dan kegelisahan dalam dada….” Itu jawaban Rasulullah saw saat ditanya tentang definisi al-birr atau kebaikan oleh seorang sahabat bernama Wabishah bin Ma’bad ra. Rasul mengatakannya sambil meletakkan kelima jarinya di dada Wabishah. Dan Wabishah sangat terkesan dengan nasihat Nabi tersebut.
Secara singkat, Rasul memberi definisi tegas untuk membedakan baik dan buruk. Timbangannya ada pada suara hati, ada pada nurani. Hati memiliki kedudukan sangat strategis sehingga setiap muslim dianjurkan untuk mendengarkan, dan mengikuti suara hatinya dalam menentukan sikap. Hadits itu bahkan ditutup dengan perkataan Rasul, bahwa seseorang harus tetap lebih mengutamakan suara hatinya betapapun banyak orang yang memiliki pandangan berbeda. Parameternya kembali pada sabda Rasul bahwa kesalahan dan dosa itu adalah yang membuat hati gelisah. Sementara kebaikan itu adalah yang membuat hati tenteram dan tenang.
Itu sebabnya setiap orang harus bisa melatih diri peka mendengar suara hati nurani. Ada beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk tujuan ini.
Pertama, manfaatkan momen-momen sunyi untuk mendengarkan suara hati. Duduk dan tafakkurlah di waktu malam. Istirahatkan, lidah, telinga, mata sejenak, setelah kita menggunakannya selama puluhan jam dalam sehari. Dengarkanlah suara hati. Dengarkan pelan-pelan dan hati-hati. Jika tidak ada sesuatu pun yang terdengar, itulah saat terbaik bagi kita untuk menyadari bahwa hati kita telah ditutupi oleh debu yang tebal; debu keserakahan, kedengkian dan kesombongan. Sehingga ia tidak lagi mampu memantulkan gelombang cahaya kebenaran. Seorang ulama dan juru dakwah terkenal asal Mesir, Hasan AI-Banna, pernah mengatakan, “Detik demi detik di malam hari itu sangat mahal. Jangan kau sepelekan ia dengan amal-amal yang melalaikan…"
Imam Zainal Abidin Ali bin Husain bin Ali ra mengatakan, “Jlka seorang kerap merenungi kebesaran Allah pada saat orang lain tidak ada, maka Allah akan memberitahukan berbagai kesalahan yang dilakukannya sehingga ia lebih sibuk dengan dosa-dosanya ketimbang sibuk dengan kesalahan orang lain."
Kedua, luangkan waktu untuk terlepas dari kegiatan rutin. Seringkali manusia terlalu sibuk hingga menjadikannya seperti tak pernah terlepas dari belenggu kehidupan duniawi. Padahal bagaimanapun jiwa sebagaimana fisik, perlu istirahat dan ketenangan. Allah swt sebenarnya telah menyediakan waktu-waktu istirahat jiwa yang sangat efektif dan ideal bagi kita. Kesempatan itu ada pada saat setiap seseorang melakukan shalat lima waktu. Hilangkan segala persoalan dan problematika yang melilit hidup, dalam sholat. Tenangkan pikiran, tundukkan hati dan pandangan, satukan perhatian, penuh hanya untuk beribadah dan berdialog kepada Allah swt.
Dialah yang menciptakan kehidupan dan segala dinamika hidup. Melalui shalat lah, seseorang memiliki terminal peristirahatan yang nyaman. Untuk berdialog dengan Allah dan dengan diri sendiri, dan mendengarkan suara hatinya. Mushthofa Shadiq Ar-Rafi’i menyebutkan, “Adalah kesalahan besar bila engkau mengatur kehidupan lahir yang ada di sekelilingmu, sementara engkau biarkan hatimu berantakan." (Wahyul Qalam, 2/44)
Ketiga, biasakan berpikir sebelum bertindak. Jangan terbiasa melakukan perilaku dengan harus mengorbankan suara hati nurani. Suara hati harus sering-sering diperhatikan dan didengarkan. Ingat sabda Rasulullah, "Dosa itu adalah sesuatu yang menggelisahkan hati dan engkau tidak suka bila prilaku itu diketahui orang lain." (HR Muslim).
Hanya ada dua indikator dosa menurut Rasulullah. Hati gelisah dan kekhawatiran adanya orang lain yang melihat perbuatan itu. Dan itulah suara hati yang tak boleh diterjang. Terlalu sering melawan suara hati, akan menjadikan orang semakin sulit menangkap getaran hatinya. Karena suara hatinya semakin lemah untuk menyuarakan kebenaran. Seorang ulama hadits bernama Muhammad bin Kunasah dalam bait-bait syairnya mengatakan, "Semakin terbiasa jiwa mengikuti hawa nafsu, semakin berat memutusnya dari ketergantungan hawa nafsu.."
Keempat, lakukanlah perenungan dan penyelaman makna ayat-ayat Al-Qur’an. Membaca Al-Qur’an dan menyelami maknanya, akan semakin mempertajam suara hati, untuk tetap berada pada rel fitrah yang telah Allah ciptakan. Al-Qur’an mengingatkan manusia untuk banyak membaca dan merenungi hakikat tentang kehidupan dan kematian, menumbuhkan rasa takut, pengharapan dan ketundukan kepada Allah. Al-Qur‘an juga akan membiasakan jiwa untuk selalu mengukur segala sesuatu dengan apa yang diridhai Allah.
Berkata Sayyid Quthb dalam tafsir Fi Zilalil Qur’an, “Orang yang merasakan takut pada Allah tidak akan berani melakukan maksiat kepada-Nya. Jika sesekali ia berbuat maksiat karena dorongan sifat kemanusiaannya yang lemah, perasaan takut akan kebesaran Allah inilah yang akan menegur, memperingatkan dan mengajaknya pada penyesalan atas maksiat tersebut. Beristighfar meminta ampun dan taubat kepada Allah. Dengan begitulah ia akan terikat dengan ketaatan pada Allah, dan mampu mengekang jiwa dari selalu mengikuti kehendak hawa nafsunya.”
Kelima, hindari terlalu banyak bicara yang bisa menyebabkan pengotoran hati. Sikap menyedikitkan bicara dan memperbanyak amal, menandakan seseorang lebih banyak berpikir dan berdialog serta mendengarkan suara hatinya. Menurut ulama shalih di zaman Tabi’in, Fudhail bin Iyadh, terlalu banyak bicara merupakan salah satu sifat yang akan mengotorkan hati. Sikap itu juga pada giliran-nya akan menjadi salah satu indikasi kemunafikan, bila yang dibicarakan menjadi lebih banyak dari amal yang dilakukan. “Orang mu’min sedikit bicara dan banyak bekerja, sedangkan munafik banyak bicara dan sedikit bekerja.”
Sebenarnya, banyak cara yang bisa dilakukan untuk menjadikan hati tetap bersih, hingga ia bisa memberi fatwa yang jernih. Banyak cara yang bisa dilakukan agar “air" terus mengalir dan membasuh hati, sehingga ia tetap bersih dari “debu” dan kita mampu menangkap suaranya. Semua sarana itu tersimpul pada aktifitas memperbanyak amal-amal ibadah. Shalat, dzikir, tilawah Al-Qur’an, shaum, zakat dan sebagainya seperti yang kita lakukan pada setiap program usbu’ ruhiyyah, semua itu akan menjadi pembersih bagi hati. Lihatlah Al-Qur’an surat Ali Imran ayat134 yang menjelaskan bahwa orang-orang yang menafkahkan hartanya di waktu lapang atau sempit, mampu menahan amarah dan memaafkan kesalahan orang lain adalah orang-orang yang disukai Allah.
Itulah salah satu cara menangkap suara hati di saat-saat yang paling sulit, bahkan. Seperti ketika marah. Mampukah kita melakukannya? Semoga Allah memberikan hidayah taufiq kepada kita semua. Amiin ya robbal’alamin.
Secara singkat, Rasul memberi definisi tegas untuk membedakan baik dan buruk. Timbangannya ada pada suara hati, ada pada nurani. Hati memiliki kedudukan sangat strategis sehingga setiap muslim dianjurkan untuk mendengarkan, dan mengikuti suara hatinya dalam menentukan sikap. Hadits itu bahkan ditutup dengan perkataan Rasul, bahwa seseorang harus tetap lebih mengutamakan suara hatinya betapapun banyak orang yang memiliki pandangan berbeda. Parameternya kembali pada sabda Rasul bahwa kesalahan dan dosa itu adalah yang membuat hati gelisah. Sementara kebaikan itu adalah yang membuat hati tenteram dan tenang.
Itu sebabnya setiap orang harus bisa melatih diri peka mendengar suara hati nurani. Ada beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk tujuan ini.
Pertama, manfaatkan momen-momen sunyi untuk mendengarkan suara hati. Duduk dan tafakkurlah di waktu malam. Istirahatkan, lidah, telinga, mata sejenak, setelah kita menggunakannya selama puluhan jam dalam sehari. Dengarkanlah suara hati. Dengarkan pelan-pelan dan hati-hati. Jika tidak ada sesuatu pun yang terdengar, itulah saat terbaik bagi kita untuk menyadari bahwa hati kita telah ditutupi oleh debu yang tebal; debu keserakahan, kedengkian dan kesombongan. Sehingga ia tidak lagi mampu memantulkan gelombang cahaya kebenaran. Seorang ulama dan juru dakwah terkenal asal Mesir, Hasan AI-Banna, pernah mengatakan, “Detik demi detik di malam hari itu sangat mahal. Jangan kau sepelekan ia dengan amal-amal yang melalaikan…"
Imam Zainal Abidin Ali bin Husain bin Ali ra mengatakan, “Jlka seorang kerap merenungi kebesaran Allah pada saat orang lain tidak ada, maka Allah akan memberitahukan berbagai kesalahan yang dilakukannya sehingga ia lebih sibuk dengan dosa-dosanya ketimbang sibuk dengan kesalahan orang lain."
Kedua, luangkan waktu untuk terlepas dari kegiatan rutin. Seringkali manusia terlalu sibuk hingga menjadikannya seperti tak pernah terlepas dari belenggu kehidupan duniawi. Padahal bagaimanapun jiwa sebagaimana fisik, perlu istirahat dan ketenangan. Allah swt sebenarnya telah menyediakan waktu-waktu istirahat jiwa yang sangat efektif dan ideal bagi kita. Kesempatan itu ada pada saat setiap seseorang melakukan shalat lima waktu. Hilangkan segala persoalan dan problematika yang melilit hidup, dalam sholat. Tenangkan pikiran, tundukkan hati dan pandangan, satukan perhatian, penuh hanya untuk beribadah dan berdialog kepada Allah swt.
Dialah yang menciptakan kehidupan dan segala dinamika hidup. Melalui shalat lah, seseorang memiliki terminal peristirahatan yang nyaman. Untuk berdialog dengan Allah dan dengan diri sendiri, dan mendengarkan suara hatinya. Mushthofa Shadiq Ar-Rafi’i menyebutkan, “Adalah kesalahan besar bila engkau mengatur kehidupan lahir yang ada di sekelilingmu, sementara engkau biarkan hatimu berantakan." (Wahyul Qalam, 2/44)
Ketiga, biasakan berpikir sebelum bertindak. Jangan terbiasa melakukan perilaku dengan harus mengorbankan suara hati nurani. Suara hati harus sering-sering diperhatikan dan didengarkan. Ingat sabda Rasulullah, "Dosa itu adalah sesuatu yang menggelisahkan hati dan engkau tidak suka bila prilaku itu diketahui orang lain." (HR Muslim).
Hanya ada dua indikator dosa menurut Rasulullah. Hati gelisah dan kekhawatiran adanya orang lain yang melihat perbuatan itu. Dan itulah suara hati yang tak boleh diterjang. Terlalu sering melawan suara hati, akan menjadikan orang semakin sulit menangkap getaran hatinya. Karena suara hatinya semakin lemah untuk menyuarakan kebenaran. Seorang ulama hadits bernama Muhammad bin Kunasah dalam bait-bait syairnya mengatakan, "Semakin terbiasa jiwa mengikuti hawa nafsu, semakin berat memutusnya dari ketergantungan hawa nafsu.."
Keempat, lakukanlah perenungan dan penyelaman makna ayat-ayat Al-Qur’an. Membaca Al-Qur’an dan menyelami maknanya, akan semakin mempertajam suara hati, untuk tetap berada pada rel fitrah yang telah Allah ciptakan. Al-Qur’an mengingatkan manusia untuk banyak membaca dan merenungi hakikat tentang kehidupan dan kematian, menumbuhkan rasa takut, pengharapan dan ketundukan kepada Allah. Al-Qur‘an juga akan membiasakan jiwa untuk selalu mengukur segala sesuatu dengan apa yang diridhai Allah.
Berkata Sayyid Quthb dalam tafsir Fi Zilalil Qur’an, “Orang yang merasakan takut pada Allah tidak akan berani melakukan maksiat kepada-Nya. Jika sesekali ia berbuat maksiat karena dorongan sifat kemanusiaannya yang lemah, perasaan takut akan kebesaran Allah inilah yang akan menegur, memperingatkan dan mengajaknya pada penyesalan atas maksiat tersebut. Beristighfar meminta ampun dan taubat kepada Allah. Dengan begitulah ia akan terikat dengan ketaatan pada Allah, dan mampu mengekang jiwa dari selalu mengikuti kehendak hawa nafsunya.”
Kelima, hindari terlalu banyak bicara yang bisa menyebabkan pengotoran hati. Sikap menyedikitkan bicara dan memperbanyak amal, menandakan seseorang lebih banyak berpikir dan berdialog serta mendengarkan suara hatinya. Menurut ulama shalih di zaman Tabi’in, Fudhail bin Iyadh, terlalu banyak bicara merupakan salah satu sifat yang akan mengotorkan hati. Sikap itu juga pada giliran-nya akan menjadi salah satu indikasi kemunafikan, bila yang dibicarakan menjadi lebih banyak dari amal yang dilakukan. “Orang mu’min sedikit bicara dan banyak bekerja, sedangkan munafik banyak bicara dan sedikit bekerja.”
Sebenarnya, banyak cara yang bisa dilakukan untuk menjadikan hati tetap bersih, hingga ia bisa memberi fatwa yang jernih. Banyak cara yang bisa dilakukan agar “air" terus mengalir dan membasuh hati, sehingga ia tetap bersih dari “debu” dan kita mampu menangkap suaranya. Semua sarana itu tersimpul pada aktifitas memperbanyak amal-amal ibadah. Shalat, dzikir, tilawah Al-Qur’an, shaum, zakat dan sebagainya seperti yang kita lakukan pada setiap program usbu’ ruhiyyah, semua itu akan menjadi pembersih bagi hati. Lihatlah Al-Qur’an surat Ali Imran ayat134 yang menjelaskan bahwa orang-orang yang menafkahkan hartanya di waktu lapang atau sempit, mampu menahan amarah dan memaafkan kesalahan orang lain adalah orang-orang yang disukai Allah.
Itulah salah satu cara menangkap suara hati di saat-saat yang paling sulit, bahkan. Seperti ketika marah. Mampukah kita melakukannya? Semoga Allah memberikan hidayah taufiq kepada kita semua. Amiin ya robbal’alamin.
Meningkatkan percaya diri
Dari data penelitian, ditemukan banyak faktor yang menjadikan kendala seseorang enggan untuk menjadi penyeru kebaikan. Antara lain, kurang percaya diri, kemudian disusul tidak adanya skill. Kalau kita runut, keduanya mempunyai korelasi yang sangat erat. Sebenarnya akar masalah orang yang tidak percaya diri terletak pada skill (keterampilan). Dan, skill utama bagi seorang penyeru kebaikan terletak pada kemampuan penguasaan materi, pemahaman terhadap nilai-nilai yang disampaikan, serta penguasaan skill penyampaian.
Untuk menumbuhkan ketiga hal tersebut perlu sebuah usaha pembiasaan. Dan untuk menjadikan hal itu sebagai sebuah kebiasaan dalam diri seseorang secara permanen, maka perlu ditanamkan beberapa faktor: Pertama, paham. Tanpa pemahaman yang utuh, orang tidak akan dapat bekerja dengan ikhlas, lemah produktiftas, dan tidak akan tahan lama. Kedua, memiliki skill. Orang yang tidak memilki skill biasanya akan bekerja dengan cemas dan minder. Ketiga, kemauan. Dengan kemauan, kita dapat beramal secara konsisten dalam rentang waktu yang lebih lama.
Ada beberapa kiat praktis untuk meningkatkan rasa percaya diri. Utamanya meliputi aspek kemauan, pemahaman serta keterampilan. Untuk memenuhi aspek kemauan, Anda perlu melakukan berbagai usaha. Antara lain:
1. Bekerjalah dengan Ikhlas. Yakinkan bahwa seluruh amalan baik akan mendapatkan pahala walau tidak enak untuk dikerjakan.
2. Kerjakan setiap aktifitas dengan penuh tanggung jawab, memiliki landasan nilai (vaIue) dan prinsip-prinsip yang kuat.
3. Milikilah kebiasaan menerima. Ini akan meningkatkan rasa memiliki.
4. Tingkatkan rasa tanggung jawab pribadi. Dengan itu, rasa tanggung jawab untuk menyelesaikan problem umat akan tumbuh.
5. Miliki kebiasaan mempertahankan hak. Dengan cara mendorong sikap percaya diri untuk membela hak-hak kita yang hilang.
6. Milikilah kebiasaan hidup dengan tujuan. Tanpa tujuan yang kuat tak akan ada target dan kurang termotivasi untuk melakukan aktifitas yang baik sekalipun.
7. Memiliki integritas diri. Kekuatan utama bagi penyeru kebaikan terletak pada kekuatan integritas, yaitu kesatuan antara ucapan, statement tertulis dan tindakan kita.
Sedangkan untuk aspek pemahaman dan keterampilan, barangkali beberapa langkah berikut bisa Anda usahakan:
1. Milikilah catatan/referensi materi dan agenda yang rapi.
2. Siapkan materi yang akan disampaikan. Naik panggung tanpa persiapan, maka turun panggung penuh dengan kehinaan.
3. Bacalah buku-buku referensi, ini sangat membantu meningkatkan pemahaman.
4. Milikilah hafalan yang baik. Orang berbicara mengandalkan apa yang diingat.
5. Ambillah selalu kesempatan untuk tampil dimuka umum kapan saja. Sebagai latihan melancarkan kemampuan bicara dan kontrol diri.
6. Ikutilah beberapa pelatihan, semisal pelatihan Training for Trainer, atau sejenis pelatihan untuk pelatih dan fasilitator yang membekali skill mengajar.
Dengan kecakapan dalam bidang pemahaman dan keterampilan, ditambah kemauan yang keras, insya Allah usaha perbaikan, mengajak manusia ke jalan yang diridhai Allah akan punya hasil dan rentang usia yang panjang.
wallahu’alam
Untuk menumbuhkan ketiga hal tersebut perlu sebuah usaha pembiasaan. Dan untuk menjadikan hal itu sebagai sebuah kebiasaan dalam diri seseorang secara permanen, maka perlu ditanamkan beberapa faktor: Pertama, paham. Tanpa pemahaman yang utuh, orang tidak akan dapat bekerja dengan ikhlas, lemah produktiftas, dan tidak akan tahan lama. Kedua, memiliki skill. Orang yang tidak memilki skill biasanya akan bekerja dengan cemas dan minder. Ketiga, kemauan. Dengan kemauan, kita dapat beramal secara konsisten dalam rentang waktu yang lebih lama.
Ada beberapa kiat praktis untuk meningkatkan rasa percaya diri. Utamanya meliputi aspek kemauan, pemahaman serta keterampilan. Untuk memenuhi aspek kemauan, Anda perlu melakukan berbagai usaha. Antara lain:
1. Bekerjalah dengan Ikhlas. Yakinkan bahwa seluruh amalan baik akan mendapatkan pahala walau tidak enak untuk dikerjakan.
2. Kerjakan setiap aktifitas dengan penuh tanggung jawab, memiliki landasan nilai (vaIue) dan prinsip-prinsip yang kuat.
3. Milikilah kebiasaan menerima. Ini akan meningkatkan rasa memiliki.
4. Tingkatkan rasa tanggung jawab pribadi. Dengan itu, rasa tanggung jawab untuk menyelesaikan problem umat akan tumbuh.
5. Miliki kebiasaan mempertahankan hak. Dengan cara mendorong sikap percaya diri untuk membela hak-hak kita yang hilang.
6. Milikilah kebiasaan hidup dengan tujuan. Tanpa tujuan yang kuat tak akan ada target dan kurang termotivasi untuk melakukan aktifitas yang baik sekalipun.
7. Memiliki integritas diri. Kekuatan utama bagi penyeru kebaikan terletak pada kekuatan integritas, yaitu kesatuan antara ucapan, statement tertulis dan tindakan kita.
Sedangkan untuk aspek pemahaman dan keterampilan, barangkali beberapa langkah berikut bisa Anda usahakan:
1. Milikilah catatan/referensi materi dan agenda yang rapi.
2. Siapkan materi yang akan disampaikan. Naik panggung tanpa persiapan, maka turun panggung penuh dengan kehinaan.
3. Bacalah buku-buku referensi, ini sangat membantu meningkatkan pemahaman.
4. Milikilah hafalan yang baik. Orang berbicara mengandalkan apa yang diingat.
5. Ambillah selalu kesempatan untuk tampil dimuka umum kapan saja. Sebagai latihan melancarkan kemampuan bicara dan kontrol diri.
6. Ikutilah beberapa pelatihan, semisal pelatihan Training for Trainer, atau sejenis pelatihan untuk pelatih dan fasilitator yang membekali skill mengajar.
Dengan kecakapan dalam bidang pemahaman dan keterampilan, ditambah kemauan yang keras, insya Allah usaha perbaikan, mengajak manusia ke jalan yang diridhai Allah akan punya hasil dan rentang usia yang panjang.
wallahu’alam
Etika
Perkataan etika berasal dari bahasa Yunani "ethos" yang berarti adat kebiasaan. Kata ini identik dengan moral yang berasal dari bahasa latin "mores" (juga sama dengan tata susila, budi pekerti, kesopanan, adab perangai dan tingkah laku).
Secara istilah, etika adalah usaha manusia agar kehidupan mereka berada dalam aturan yang baik, beredar sesuai dengan naluri kemanusiaan. Usaha itu diwujudkan dengan membentuk suatu tata aturan kehidupan yang baik lalu dibiasakan dalam kehidupan sehari-hari.
Persepsi berbagai agama tentang etika bermacam-macam. Budha Gautama yang melihat ketimpangan dalam etika Hindu (kasta), mencoba mengeluarkan etika baru yang meliputi delapan perkara: melakukan kebaikan, bersifat kasih sayang, suka menolong, mencintai orang lain, suka memaafkan orang, ringan tangan dalam kebaikan, mencabut diri sendiri dari sekalian kepentingan, berkorban untuk orang lain. Demikian juga halnya dengan LaoTse dan Kong Fu Tse. Dua tokoh Tiongkok itu juga berusaha memperbaiki tingkah dan etika manusia pada zamannya dengan berbagai ajaran kebaikan, demi keselamatan tatanan kehidupan manusia. Banyak lagi tokoh seperti Socrates, Antintenus, Plato, Aristoteles, dan lainnya bermunculan mengemukakan konsep dan teorinya, bagaimana agar manusia bertingkah laku baik, menjauhkan kerusakan dan kebinasaan pribadi maupun orang lain.
Aturan yang mereka buat hanya didasarkan kepada pendapat orang-orang sesuai dengan fikiran dan perasaannya. Tentu saja pendapat yang satu berbeda dengan yang lain. Bahkan, bisa saja pendapat kemarin dibantah dengan munculnya pendapat baru. "Kebenaran" seorang tokoh akan ditolak dengan ditemukannya "kebenaran" orang sesudahnya.
Sekitar abad ketiga sebelum masehi, muncul aliran dalam hal etika yang dikenal dengan aliran Natularisme. Aliran yang diprakarsai Zeno (340-264 SM) itu berpendapat bahwa ukuran baik dan buruknya perbuatan manusia adalah manakala manusia itu secara natural mengikuti akalnya dalam mencapai tujuan-tujuan hidupnya. Jadi menurut pendapat ini hidup manusia harus mengikuti petunjuk akal, dengan mengikuti petunjuk akal berarti telah memiliki etika tinggi.
Pada waktu yang hampir bersamaan, Epikuros (341-270 SM) berpendapat bahwa ukuran baik buruk terletak pada kelezatan sesuatu, dan itu merupakan tujuan hidup manusia. Bila perbuatan manusia menimbulkan suatu kenikmatan dialah orang yang mempunyai moral dan etika yang tinggi. Pendapat ini dinamakan Hedonisme.
Pada awal-awal abad kedelapan belas, J.S. Mill menperkenalkan teori etika yang baru. Agaknya ada sedikit kemajuan. Teori ini dikenal dengan Utilitarisme. Mill mengemukakan bahwa ukuran baik dan buruknya sesuatu didasarkan atas besar kecilnya manfaat yang ditimbulkannya bagi manusia. Dengan pendapat ini ia menghendaki agar manusia menemukan kebahagiaan di tengah orang banyak dengan memanfaatkan diri dan pengorbanannya.
Ada lagi aliran idealisme. Aliran ini tidak bicara definisi, tapi apa yang ada dibalik etika tersebut. Tokohnya, Immanuel Kant (17251804), Ia berpendapat bahwa seseorang berbuat baik pada prinsipnya bukan karena dianjurkan oleh orang lain, melainkan atas dasar kemauan sendiri (atau rasa kewajiban). Perbuatan baik akan dilakukan juga walaupun diancam atau dicela orang lain karena terpanggil oleh kewajiban.
Sedangkan aliran etika Vitalisme mengukur baik buruknya perbuatan manusia dengan ada tidaknya daya hidup maksimum yang mengendalikan perbuatan itu. Maka, yang dianggap baik ialah orang yang kuat dan dapat memaksakan kehendaknya serta mampu menjadikan dirinya selalu ditaati. Pencetus aliran ini ialah Freedrich Witzche (1844-1900). Filsafat dalam aliran ini adalah atheistic. Karenanya, Witzche juga berjuang menentang gereja di Eropa.
Itulah beberapa kisah tengan usaha manusia mencari rumusan etika. Semua konsepnya semu, semua ajarannya tak ada yang menghunjam dalam hati nurani. Lebih jauh, tak sedikit dari konsep etika di atas yang salah. Akibatnya, bukannya terjadi kehidupan manusiaa yang beretika. Justru sebaliknya terjadi berbagai kehancuran di muka bumi.
Etika yang benar, adalah etika yang bersandar kepada kebenaran wahyu. Dalam terminologi etika, etika ini dikenal dengan aliran Theologis. Aliran ini berpendapat bahwa baik-buruk perbuatan manusia didasarkan atas ajaran Tuhan yang dibawa para nabi kepada umatnya. Etika Theologis inilah yang dalam Islam disebut dengan akhlaq. Ia bersumber dari sang Khaliq.
Dalam Islam perhatian terhadap akhlak sangatlah besar. Selain akan mendampingi ketaqwaan dalam memperbanyak amal di akhirat (hadits Tirimidzi) akhlak juga menjadi perisai bagi eksistensi suatu bangsa. Selain itu, kebutuhan seorang muslim akan akhlaq juga untuk penopang iman. Sebagaimana diungkapkan Rasulullah, "Sesempurna-sempurna iman seorang mukmin ialah yang lebih baik akhlaknya." Dalam Islam, batasan antara akhlak yang baik dan akhlak yang buruk sangat jelas. Bahkan dengan penggambaran-penggambaran yang "vulgar". Lihatlah bagaimana Al-Qur’an mengumpamakan orang-orang yang tak berakhlak seperti binatang, bahkan lebih sesat dari binatang.
Sebaliknya, Islam memberi ruang lingkup akhlak yang baik dengan sangat lugas. Tidak saja terpaku pada amal-amal yang besar. Namun juga meliputi amal-amal yang kelihatannya sepele. Seperti menyingkirkan duri dari jalanan, menyapa dengan mengucapkan salam ketika bertemu sesama muslim, tersenyum untuk saudara sesama muslim, mendo’akan saudara, dan amal-amal lain yang sangat luas dalam Islam.
Akhlaq Islam juga mengajarkan bagaimana seorang rakyat harus bersikap, bagaimana seorang pemimpin harus memimpin, bagaimana seorang ulama harus memberi fatwa. Semua ada aturannya, entah orang itu pedagang, pekerja, pengarang, dan pengusaha, harus ber akhlaq sesuai dengan profesinya.
Buya Hamka berucap,
Diribut runduk padi
dicupak datuk tumenggung
hidup kalau tidak berbudi
duduk tegak kemari canggung.
Tegak rumah karena sendi
runturt budi rumah binasa
sendi bangsa adalah budi
runtuh budi runtuhlah bangsa.
Banyak orang yang ingin hidup tenteram dan damai. Tapi banyak pula dari mereka yang berkiblat kepada tokoh-tokoh pencetus konsep etika dan moral yang salah. Padahal teori-teori itu banyak yang salah.. Sumber kebenaran hanya satu. Dari Allah SWT. Sesungguhnya kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu, maka janganlah engkau menjadi orang yang ragu.
Wallahu a’lam bishawab
Secara istilah, etika adalah usaha manusia agar kehidupan mereka berada dalam aturan yang baik, beredar sesuai dengan naluri kemanusiaan. Usaha itu diwujudkan dengan membentuk suatu tata aturan kehidupan yang baik lalu dibiasakan dalam kehidupan sehari-hari.
Persepsi berbagai agama tentang etika bermacam-macam. Budha Gautama yang melihat ketimpangan dalam etika Hindu (kasta), mencoba mengeluarkan etika baru yang meliputi delapan perkara: melakukan kebaikan, bersifat kasih sayang, suka menolong, mencintai orang lain, suka memaafkan orang, ringan tangan dalam kebaikan, mencabut diri sendiri dari sekalian kepentingan, berkorban untuk orang lain. Demikian juga halnya dengan LaoTse dan Kong Fu Tse. Dua tokoh Tiongkok itu juga berusaha memperbaiki tingkah dan etika manusia pada zamannya dengan berbagai ajaran kebaikan, demi keselamatan tatanan kehidupan manusia. Banyak lagi tokoh seperti Socrates, Antintenus, Plato, Aristoteles, dan lainnya bermunculan mengemukakan konsep dan teorinya, bagaimana agar manusia bertingkah laku baik, menjauhkan kerusakan dan kebinasaan pribadi maupun orang lain.
Aturan yang mereka buat hanya didasarkan kepada pendapat orang-orang sesuai dengan fikiran dan perasaannya. Tentu saja pendapat yang satu berbeda dengan yang lain. Bahkan, bisa saja pendapat kemarin dibantah dengan munculnya pendapat baru. "Kebenaran" seorang tokoh akan ditolak dengan ditemukannya "kebenaran" orang sesudahnya.
Sekitar abad ketiga sebelum masehi, muncul aliran dalam hal etika yang dikenal dengan aliran Natularisme. Aliran yang diprakarsai Zeno (340-264 SM) itu berpendapat bahwa ukuran baik dan buruknya perbuatan manusia adalah manakala manusia itu secara natural mengikuti akalnya dalam mencapai tujuan-tujuan hidupnya. Jadi menurut pendapat ini hidup manusia harus mengikuti petunjuk akal, dengan mengikuti petunjuk akal berarti telah memiliki etika tinggi.
Pada waktu yang hampir bersamaan, Epikuros (341-270 SM) berpendapat bahwa ukuran baik buruk terletak pada kelezatan sesuatu, dan itu merupakan tujuan hidup manusia. Bila perbuatan manusia menimbulkan suatu kenikmatan dialah orang yang mempunyai moral dan etika yang tinggi. Pendapat ini dinamakan Hedonisme.
Pada awal-awal abad kedelapan belas, J.S. Mill menperkenalkan teori etika yang baru. Agaknya ada sedikit kemajuan. Teori ini dikenal dengan Utilitarisme. Mill mengemukakan bahwa ukuran baik dan buruknya sesuatu didasarkan atas besar kecilnya manfaat yang ditimbulkannya bagi manusia. Dengan pendapat ini ia menghendaki agar manusia menemukan kebahagiaan di tengah orang banyak dengan memanfaatkan diri dan pengorbanannya.
Ada lagi aliran idealisme. Aliran ini tidak bicara definisi, tapi apa yang ada dibalik etika tersebut. Tokohnya, Immanuel Kant (17251804), Ia berpendapat bahwa seseorang berbuat baik pada prinsipnya bukan karena dianjurkan oleh orang lain, melainkan atas dasar kemauan sendiri (atau rasa kewajiban). Perbuatan baik akan dilakukan juga walaupun diancam atau dicela orang lain karena terpanggil oleh kewajiban.
Sedangkan aliran etika Vitalisme mengukur baik buruknya perbuatan manusia dengan ada tidaknya daya hidup maksimum yang mengendalikan perbuatan itu. Maka, yang dianggap baik ialah orang yang kuat dan dapat memaksakan kehendaknya serta mampu menjadikan dirinya selalu ditaati. Pencetus aliran ini ialah Freedrich Witzche (1844-1900). Filsafat dalam aliran ini adalah atheistic. Karenanya, Witzche juga berjuang menentang gereja di Eropa.
Itulah beberapa kisah tengan usaha manusia mencari rumusan etika. Semua konsepnya semu, semua ajarannya tak ada yang menghunjam dalam hati nurani. Lebih jauh, tak sedikit dari konsep etika di atas yang salah. Akibatnya, bukannya terjadi kehidupan manusiaa yang beretika. Justru sebaliknya terjadi berbagai kehancuran di muka bumi.
Etika yang benar, adalah etika yang bersandar kepada kebenaran wahyu. Dalam terminologi etika, etika ini dikenal dengan aliran Theologis. Aliran ini berpendapat bahwa baik-buruk perbuatan manusia didasarkan atas ajaran Tuhan yang dibawa para nabi kepada umatnya. Etika Theologis inilah yang dalam Islam disebut dengan akhlaq. Ia bersumber dari sang Khaliq.
Dalam Islam perhatian terhadap akhlak sangatlah besar. Selain akan mendampingi ketaqwaan dalam memperbanyak amal di akhirat (hadits Tirimidzi) akhlak juga menjadi perisai bagi eksistensi suatu bangsa. Selain itu, kebutuhan seorang muslim akan akhlaq juga untuk penopang iman. Sebagaimana diungkapkan Rasulullah, "Sesempurna-sempurna iman seorang mukmin ialah yang lebih baik akhlaknya." Dalam Islam, batasan antara akhlak yang baik dan akhlak yang buruk sangat jelas. Bahkan dengan penggambaran-penggambaran yang "vulgar". Lihatlah bagaimana Al-Qur’an mengumpamakan orang-orang yang tak berakhlak seperti binatang, bahkan lebih sesat dari binatang.
Sebaliknya, Islam memberi ruang lingkup akhlak yang baik dengan sangat lugas. Tidak saja terpaku pada amal-amal yang besar. Namun juga meliputi amal-amal yang kelihatannya sepele. Seperti menyingkirkan duri dari jalanan, menyapa dengan mengucapkan salam ketika bertemu sesama muslim, tersenyum untuk saudara sesama muslim, mendo’akan saudara, dan amal-amal lain yang sangat luas dalam Islam.
Akhlaq Islam juga mengajarkan bagaimana seorang rakyat harus bersikap, bagaimana seorang pemimpin harus memimpin, bagaimana seorang ulama harus memberi fatwa. Semua ada aturannya, entah orang itu pedagang, pekerja, pengarang, dan pengusaha, harus ber akhlaq sesuai dengan profesinya.
Buya Hamka berucap,
Diribut runduk padi
dicupak datuk tumenggung
hidup kalau tidak berbudi
duduk tegak kemari canggung.
Tegak rumah karena sendi
runturt budi rumah binasa
sendi bangsa adalah budi
runtuh budi runtuhlah bangsa.
Banyak orang yang ingin hidup tenteram dan damai. Tapi banyak pula dari mereka yang berkiblat kepada tokoh-tokoh pencetus konsep etika dan moral yang salah. Padahal teori-teori itu banyak yang salah.. Sumber kebenaran hanya satu. Dari Allah SWT. Sesungguhnya kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu, maka janganlah engkau menjadi orang yang ragu.
Wallahu a’lam bishawab
Langganan:
Postingan (Atom)